Akui Putusan Batas Usia Capres-cawapres Probelamtik, Yusril: Harus Ada Keputusan
Yusril menyebut putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres mengikat jika dilihat dari sudut pandang kepastian hukum
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengaku Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres itu problematik.
Pasalnya putusan tersebut jauh dari etik filsafat hukum.
Kendati demikian, kata Yusril, pengambilan sebuah keputusan tetap harus dilakukan.
Karena peraturan tersebut mengikat jika dilihat dari sudut pandang kepastian hukum.
"Ketika kita berbicara dalam konteks penyelenggaraan negara, kita tidak mungkin mencari sesuatu yang tak berujung, tapi kita harus mengambil sebuah keputusan."
"Bahwa betul putusan 90 itu problematik kalau dilihat dari pesawat hukum etik dan lain-lain, tapi dari segi kepastian hukum, putusan 90 itu jelas sekali," kata Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024).
Menurut Yusril, pembahasan soal mencari keadilan yang sempurna tidak akan semudah yang dibayangkan.
Keadilan sempurna, lanjut Yusril, akan terus dikejar dan proses pencariannya tidak akan berujung.
"Kita tahu dalam filsafat hukum, persoalan keadilan dan kepastian hukum itu sesuatu yang sulit dipertemukan, tapi ketika kita dihadapkan pada kasus yang konkrit, lalu apakah kita harus berdebat pada sesuatu yang tidak berujung atau kita harus mengakhirinya dengan kepastian hukum," tegas Yusril.
Pernyatan itu disampaikan Yusril saat menjawab pertanyaan anggota Tim Hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Luthfi Yazid.
Sebelumnya, Luthfi mempertanyakan sikap Yusril yang seolah tidak konsisten terhadap pernyataannya sendiri.
Baca juga: Kelakar Prabowo di Markas PAN: Batas Usia Nyoblos Kita Turunkan Jadi 10 Tahun, Kita Menang Besar
Luthfi menjelaskan, Yusril dulu kerap menyebutkan bahwa putusan 90 cacat hukum.
Bahkan pernyataan tersebut diucapkan oleh Yusril di berbagai media.
"Dia (Yusril) mengatakan bahwa putusan nomor 90 MK itu cacat hukum secara serius."
"Bahkan mengandung penyelundupan hukum karena itu dia berdampak panjang putusan MK itu," kata Luthfi, dalam persidangan, Selasa.
Pendapat Yusril ini juga dibarengi dengan sikap Yusril yang mengingatkan Gibran Rakabuming Rak untuk tak maju sebegai calon wakil presiden (cawapres).
Menurut Yusril, Gibran sebaiknya tidak mencalonkan diri sebagai cawapres setelah putusan 90 diterbitkan MK.
"Sebab itu, Saudara Yusril mengatakan, andaikan saya Gibran, maka saya akan meminta kepada dia untuk tidak maju terus pen-cawapres-annya. Saya mohon tanggapan dari Saudara (Yusril)," ucap Luthfi.
Baca juga: MK Tolak Uji Formil Batas Usia Capres-cawapres dari Denny Indrayana, Pengacara: Bakal jadi Bom Waktu
Putusan Mengikat
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, Putusan 90 tersebut secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Sehingga seperti putusan MK lainnya, bersifat final dan mengikat.
Hal itu dinyatakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang pembacaan putusan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023, di ruang sidang gedung MK RI, pada Rabu (29/11/2023).
"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata Enny Nurbaningsih.
Dengan demikian, MK menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.
Dikeyahui Brahma, selaku pemohon, memohonkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.
"Terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," jelas Enny.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Ibriza Fasti Ifhami)