Feri Amsari Mentahkan Penilaian MK Panggil Presiden ke Sidang Sengketa Pilpres Kurang Elok
Ditegaskannya, urusan presiden sebagai kepala negara sangat berbeda seperti pada misi diplomatik, presiden bertugas mewakili nama negara.
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mementahkan penilaian hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa menghadirkan seorang presiden ke sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2024 adalah kurang elok.
Feri menegaksan MK berhak memanggil dan menghadirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk didengar keterangannya dalam sengketa hasil Pilpres.
Menurutnya, alasan hakim MK tidak elok memanggil Jokowi karena merupakan kepala negara adalah tidak tepat. Sebab, ada wewenang MK mempermasalahkan kerja presiden secara konstitusional, jika presiden dianggap melanggar hukum dan tidak memenuhi syarat menjadi presiden.
Ditegaskannya, urusan presiden sebagai kepala negara sangat berbeda seperti pada misi diplomatik, presiden bertugas mewakili nama negara.
“Ini kan konteks kepemiluan. Dan presiden dianggap terlibat dalam kecurangan pemilu,” paparnya dikutip dari kanal Youtube Feri Amsari, sebagaimana keterangan pers diterima Tribunnews, Sabtu (13/4/2024).
Baca juga: Jokowi Mau Silaturahim ke Megawati Segala Pakai Syarat, Projo: Bikin Rakyat Ilfil
Diberitakan, sidang sengketa Pilpres 2024 di MK memasuki babak akhir.
Rencananya gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 yang dilayangkan capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan nomor urut 3, Ganjar Pranowo - Mahfud MD akan diputus pada Senin, 22 April 2024 mendatang.
Namun, pihak Ganjar-Mahfud sempat mengutarakan agar Presiden Jokowi dihadirkan dalam sidang sengketa Pilpres 2024 tersebut ke MK.
Salah satu alasan diperlukannya keterangan Presiden Jokowi ke sidang sengketa Pilpres 2024 yakni soal pembagian bansos pada masa Pemilu 2024 yang diduga mempengaruhi keterpilihan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
Baca juga: Demokrat Sebut SBY Akan Urun Saran dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran, Sinyal Jadi Wantimpres?
Kuasa hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menyebut pengelolaan dana bansos yang dipersoalkan publik selama Pilpres 2024 juga menjadi tanggung jawab presiden. Ia berharap kehadiran Jokowi dapat menjawab pelbagai pertanyaan masyarakat.
Namun, permintaan itu mendapat penolakan dari hakim MK, Arief Hidayat.
Menurut Arief, adalah kurang elok jika memanggil Presiden Jokowi ke sidang sengketa Pilpres 2024 karena status sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Arief menjelaskan, dirinya sudah tiga kali ikut mengadili sengketa Pilpres dan Pileg di MK, yakni pada Pemilu 2014, Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 saat ini. Dengan begitu, dirinya punya pemahaman mendalam soal sengketa Pilpres dan Pileg.
"Nah yang terutama mendapat perhatian yang sangat luas dan kemudian didalilkan oleh pemohon itu cawe-cawenya kepala negara," ujar Arief dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 5 April 2024.
"Nah cawe-cawenya kepala negara ini, mahkamah sebetulnya juga 'Apa iya kita memanggil kepala negara, Presiden RI?' kelihatannya kan kurang elok karena presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan," sambung Arief.
Ia lantas menhyebutkan, MK pun telah mengabulkan permintaan dari pihak capres-cawapres 01 dan 03 untuk menghadirkan emapt menteri pembantu presiden untuk mendapat jawaban dari dalil-dalil pemohon.
"Kalau hanya sekedar kepala pemerintahan akan kita hadirkan di persidangan ini, tapi karena presiden sebagai kepala negara, simbol negara, yang harus kita junjung tinggi oleh semua stakeholder maka kita memanggil para pembantunya. Dan pembantunya ini yang terkait dengan dalil pemohon," ujarnya.
Menteri Bela Presiden, Pertanyaan Hakim MK Tumpul
Pada kesempatan itu, Feri mengatakan, keterangan empat menteri yang dipanggil ke sidang sengketa Pilpres 2024 pada Jumat (5/4/2024), cenderung membela Presiden Jokowi dan programnya.
Diketahui, empat menteri yang dipanggil MK adalah: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy.
Mejelis hakim yang terdiri atas delapan orang mengajukan pertanyaan sekitar _cawe-cawe_ Jokowi dan bantuan sosial (bansos) yang dibagikannya menjelang Pilpres 2024.
Feri menilai, pertanyaan yang diajukan hakim konstitusi tidak tajam dan jawaban para menteri cenderung normatif.
Baca juga: Pria Diduga Pendukung 03 Ikut Antre Lebaran & Diberi Amplop dari Gibran, Selvi Tak Kuasa Tahan Tawa
Dosen Universitas Andalas itu mencontohkan, hakim tidak bertanya kepada Airlangga mengapa dia dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan turut membagikan bansos secara langsung ke masyarakat pada masa kampanye. Padahal, membagikan bansos bukan tugasnya.
Tindakan itu dinilai melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2019, yang menyebut bahwa pembagian bansos itu merupakan tugas menteri sosial.
“Kenapa para hakim tidak bertanya kepada Pak Airlangga, Pak Zulkifli Hasan turun membagikan bansos, sembako dan bantuan tertentu, karena itu bukan tugas mereka. Dan, harusnya bertanya, bukankah Pak Airlangga tidak berwenang karena itu bukan tugas Bapak dan melanggar undang-undang kementerian negara? Pertanyaan harusnya setajam itu, lalu Bapak kok membagikan, secara administrasi berarti Bapak melanggar ketentuan undang-undang. Sesuatu yang melanggar udnang-undang itu ada sebabnya,” kata Feri.
Hakim, lanjutnya, semestinya mempertanyakan kepada Muhadjir kenapa ikut memberi keputusan data penerima bansos, padahal seharusnya hanya mengkoordinasi saja.
“Yang saya tangkap memang para menteri sekonyong-konyong membela presiden dan programnya. Tetapi harus dilihat MK sebagai hakim karena sifatnya aktif, betul-betul harus menggali dan pertanyaan harus mendalam,” tandasnya.
MK Tidak Beri Pelajaran
Dia menyebut, ada beberapa hakim yang mengajukan pertanyaan yang kuat tetapi tidak diikuti dengan pertanyaan yang lebih tajam, misalnya kenapa presiden mendatangi daerah kubu lawan dan memberikan bantuan dana.
Kalau bantuan lebih dari jumlah yang ditentukan oleh undang-undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka termasuk pelanggaran pemilu. Dalam konteks ini, hakim bisa mempertanyakan apakah ada atau tidak teguran dari KPU.
“Ini tidak terelaborasi dengan menarik di sidang kemarin, dan MK tidak memberikan pembelajaran yang baik untuk peserta pemilu karena kecenderungan mereka berpikir curang sehabis-habisnya nanti tidak bisa dibuktikan,” ujarnya.
Menurut Feri, harus ada upaya untuk membenahi pemilu agar peserta tidak mencurangi pemilu sehabis-habisnya dan jarak perolehan suara yang terlalu lebar membuat kecurangan-kecurangan itu diabaikan di MK.
Dia khawatir ada upaya untuk mengabaikan nilai-nilai penegakan hukum yang baik dalam persidangan di MK. (Tribunnews/Yls)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.