Pakar Nilai Legitimasi Pilpres 2024 Tak Kokoh, Karena Ada Dissenting Opinion?
Titi mengatakan, putusan MK meneguhkan legalitas perolehan suara dan hasil yang sudah diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Titi Anggraini menilai, adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berdampak pada legitimasi hasil Pilpres 2024.
Tiga hakim konstitusi, yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih menyatakan pendapat berbeda pada putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024.
Baca juga: Pakar Soroti Langkah PDIP Gugat Hasil Pilpres 2024 Ke PTUN, Akan Rumit Bila Dikabulkan
Titi mengatakan, putusan MK meneguhkan legalitas perolehan suara dan hasil yang sudah diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Jadi dia (putusan MK) menegaskan penetapan perolehan suara dan hasil oleh KPU," kata Titi, saat dihubungi, pada Rabu (24/4/2024).
Namun demikian, kata Titi, adanya dissenting opinion tiga dari delapan hakim MK itu membuat legitimasi hasil Pemilu 2024 tidak kokoh.
Baca juga: Prabowo-Gibran Resmi Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Jokowi Harap Langsung Kerja usai Dilantik
Hal itu dikarenakan pendapat berbeda tersebut beranggapan bahwa telah terbukti terjadinya kecurangan di Pilpres 2024. Sehingga, kata Titi, hasil pemilu itu tidak tercermin di dalam keputusan yang dibuat KPU.
"Tetapi, adanya dissenting opinion dari tiga hakim membuat legitimasi atas hasil Pemilu 2024 itu tidak kokoh dan tidak solid," ucapnya.
Lebih lanjut, Titi menilai, hal ini akan selalu digunakan sebagai referensi bagi publik untuk mempersoalkan keadilan Pemilu 2024.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak sengketa pilpres yang diajukan oleh pemohon I, yakni kubu paslon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pemohon II Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Hal tersebut sebagaimana amar putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo (MK), di gedung MK, Jakarta.
"Dalam eksepsi, menolak eksepsi pemohon. Dalam pokok permohonan, Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Suhartoyo membacakan amar putusan, di ruang sidang pleno MK, pada Senin (22/4/2024).
Terdapat 3 hakim konstitusi yang dissenting opinion atau berbeda pendapat, di antaranya Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat.
Baca juga: Ganjar-Mahfud Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menilai, dalil kubu Anies-Muhaimin soal dugaan adanya campur tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pencalonan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Gibran, tidak beralasan menurut hukum.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Mahkamah terkait dalil kubu Anies-Muhaimin yang menyatakan KPU selaku pihak termohon diduga tidak netral dalam tahap verifikasi dan penetapan pencalonan Prabowo-Gibran.
"Dalil pemohon yang menyatakan terjadi intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil pemohon mengenai dugaan ketidaknetralan termohon dalam verifikasi dan penetapan pasangan calon yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2, sehingga dijadikam dasar oleh pemohon agar Mahkamah membatalkan atau mendiskualifikasi pihak terkait sebagai peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim konstitusi.
Mahkamah menegaskan, putusan 90 tentang syarat usia capres-cawapres 40 tahun dan berpengalaman sebagai kepala daerah tidak serta merta batal meski adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) 2/MKMK/L/11/2023.
Adapun putusan MKMK tersebut menyatakan hakim konstitusi Anwar Usman melakukan pelanggaran berat etik terkait proses memutus perkara 90/PUU-XXI/2023.
Selain itu, Mahkamah menilai tindakan KPU selaku Termohon dalam menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XX/2023 merupakan upaya Termohon dalam menerapkan dan mempertahankan prinsip jujur dan adil dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024
Sehingga, menurut Mahkamah, perubahan syarat pasangan calon yang diterapkan termohon dalam keputusan KPU Nomor 1378 tahun 2023 dan PKPU 23 tahun 2023 dinilai telah sesuai dengan apa yang diperintahkan Putusan MK 90/2023.
"Sehingga tidak terbukti adanya dugaan keterpihakan termohon terhadap pihak terkait dalam proses penetapan pasangan calon presiden tahun 2024," ucap hakim konstitusi.
Selain itu, Mahkamah juga menyatakan, Presiden Joko Widodo tidak melanggar hukum terkait dugaan politisasi penyaluran bantuan sosial (bansos).
Dalam pertimbangan hukum untuk putusan PHPU yang diajukan pemohon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar itu, Mahkamah berpendapat, tidak menemukan bukti mengenai adanya penyaluran bansos yang menguntungkan paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabumingraka.
Hal tersebut merupakan pertimbangan Mahkamah berdasarkan pernyataan empat menteri yang sempat dipanggil MK untuk memberikan keterangan, beberapa waktu lalu. Di antaranya Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkeu Sri Mulyani, dan Mensos Tri Rismaharini.
Baca juga: Tiga Hakim Dissenting Opinion, Pakar Nilai Hasil Sengketa Pilpres 2024 di MK Jadi Sejarah Luar Biasa
"Setidaknya dari keterangan lisan empat menteri dalam persidangan, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan akan bukti adanya maksud atau intensi dari Presiden terkait dengan penyaluran bansos yang dilakukan oleh Presiden dengan tujuan untuk menguntungkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2," kata hakim konstitusi.
Atas alasan tersebut, Mahkamah tidak menilai tindakan Presiden Jokowi soal penyaluran bansos sebagai pelanggaran hukum.
Mahkamah mengaku, tidak menemukan hubungan sebab-akibat antara penyaluran bansos oleh pemerintah dengan dampaknya terhadap paslon Prabowo-Gibran.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tindakan Presiden belum dapat dikategorikan sebagai lelanggaran terhadap hukum positif. Terlebih, dalam persidangan, Mahkamah tidak menemukan bukti-bukti yang meyakinkan adanya korelasi dan hubungan kausalitas antara penyaluran bansos dengan pilihan pemilih," jelas hakim konstitusi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.