Dinasti Politik, Perludem Ungkap Bahaya Pemilu Bersandar Hukum Tanpa Etik, Singgung Adolf Hitler
Kahfi mencotohkan peristiwa yang dinilai tidak melanggar hukum, tapi mengesampingkan pentingnya etika. Misalnya, genosida yang dilakukan Jerman era
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menjelaskan soal bahayanya gelaran pemilihan umum (pemilu) jika hanya berdasarkan ketentuan hukum, tanpa memandang pentingnya etika.
Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz mulanya menyinggung sebuah buku berjudul 'How Democracies Die', yang di antaranya menerangkan pemilu sebagai ajang pemilihan pemimpin dengan mekanisme demokrasi bisa menyebabkan keruntuhan negara demokrasi itu sendiri.
"Di mana negara demokrasi runtuh oleh orang yang dipilih melalui mekanisme demokrasi yang namanya pemilu," ucap Kahfi, dalam diskusi publik bertajuk 'Politik Dinasti dan Putusan MA: Apa Respon Publik dan Media?', yang digelar secara virtual, pada Jumat (14/6/2024).
"Kenapa runtuh? Karena mereka hanya bersandarkan hanya pada ketentuan hukum, bukan ketentuan etik, artinya batasan-batasan etik itu tidak digunakan untuk kemudian membatasi diri untuk melakukan apapun yang bisa mempertahankan kekuasaannya," tambahnya.
Baca juga: Genap 30 Tahun, Kaesang Tak Masalah jadi Pendamping Anies di Pilkada Jakarta 2024
Kahfi mencotohkan peristiwa yang dinilai tidak melanggar hukum, tapi mengesampingkan pentingnya etika. Misalnya, genosida yang dilakukan Jerman era kepemimpinan Adolf Hitler dan Israel saat ini.
"Itu juga pakai landasan hukum, tetapi landasan etikanya kan yang hilang," ucapnya.
Ia menuturkan, saat ini ada banyak sekali problem etika, yang bukan hanya terjadi di pemerintahan, tapi juga di penyelenggara pemilu. Contohnya, ketika anggota KPU RI hampir semuanya mendapatkan sanksi etik peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI.
Baca juga: ICW: Putusan MA Makin Meluaskan Tentakel Dinasti Jokowi
"Termasuk, misalnya, oke, memang keluarga Presiden atau keluarga politik itu tidak dilarang untuk maju dalam konteks hukum, tapi dalam konteks etik harusnya itu yang dipikirkan, karena dia akan membawa pemerintahan atau pemilu itu penuh dengan konflik kepentingan. Rawan sekali ada yang namanya nepotisme dan favoritisme," kata Kahfi.
"Jadi, itu yang kemudian jadi berbahaya, sehingga publik harus menimbang betul bahwa politik dinasti ini enggak akan berhasil di negara demokrasi dan negara demokrasi tidak akan berhasil kalau dijalankan dengan politik dinasti itu sendiri," kata Kahfi.
MA Ubah Aturan Calon Gubernur jadi 30 Tahun
MA mengabulkan permohonan Partai Garuda terkait aturan syarat batas minimal usia calon kepala daerah.
Hal tersebut ditegaskan MA melalui Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputus pada Rabu (29/5/2024).
"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda)," demikian amar putusan tersebut sebagaimana tersedia di laman resmi MA.
MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.