Politikus Golkar: Putusan MK Soal Netralitas TNI/Polri di Pilkada Berpotensi Melanggar Konstitusi
Ahmad Irawan mengkritisi putusan MK yang menambahkan frasa TNI/Polri dan Pejabat Daerah sebagai subjek hukum yang dapat dipidana.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golkar Ahmad Irawan, mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambahkan frasa TNI/Polri dan Pejabat Daerah sebagai subjek hukum yang dapat dipidana dalam kasus netralitas Pilkada.
Menurut Irawan, putusan tersebut menunjukkan bahwa MK telah memasuki ranah kebijakan hukum pidana yang seharusnya menjadi kewenangan legislatif.
Baca juga: Hasto Minta Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu Jamin Objektivitas dan Jurdil di Pilkada 2024
Adapun, dalam putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024, frasa TNI/Polri dan Pejabat Daerah ditambahkan sebagai subjek hukum yang dapat dikenai sanksi pidana jika melanggar ketentuan larangan netralitas dalam pemilihan kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU No. 10/2016 juncto Pasal 188 UU No. 1/2015.
Sebelumnya, ketentuan pidana hanya berlaku bagi pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa atau lurah.
Ahmad Irawan mengatakan, meskipun putusan ini mencerminkan aspirasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga netralitas pejabat negara.
Dia merasa terkejut dengan langkah MK yang memperluas subjek hukum tanpa melalui mekanisme legislatif.
"Ini merupakan perluasan kewenangan yang seharusnya menjadi ranah DPR sebagai pembentuk undang-undang," kata Irawan, saat dikonfirmasi wartawan, Senin (18/11/2024).
Inkonstitusionalitas dan Kebijakan Pidana
Irawan menilai bahwa dengan menambahkan frasa baru, MK telah melangkah terlalu jauh dalam kebijakan pidana (criminal policy).
Menurutnya, MK melanggar prinsip dasar separation of power (pemisahan kekuasaan) yang diatur dalam UUD 1945.
Baca juga: Ada Debat Pilkada Jakarta, Polisi Imbau Masyarakat Cari Jalan Alternatif Lain Sekitar Hotel Sultan
"Kebijakan pemidanaan seharusnya ditentukan oleh pembentuk undang-undang, bukan oleh MK," kata dia.
Dia juga menyoroti inkonsistensi MK dalam mengambil putusan yang berkaitan dengan kebijakan pidana.
Dalam putusan sebelumnya, seperti Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 dan Putusan MK Nomor 59/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa kebijakan pidana adalah ranah lembaga legislatif.
"Hal ini menunjukkan adanya perubahan sikap MK yang tidak konsisten, sehingga berpotensi melanggar konstitusi," ucap Irawan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.