Rendahnya Partisipasi di Pilkada 2024: Efek Kandidat dan Politik Uang?
Partisipasi pemilih di Pilkada 2024 menunjukkan tren penurunan yang signifikan di berbagai wilayah di Indonesia, dengan angka di bawah 68 persen.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partisipasi pemilih di Pilkada 2024 menunjukkan tren penurunan yang signifikan di berbagai wilayah di Indonesia, dengan angka di bawah 68 persen.
Hal ini menurun drastis dibandingkan Pemilu Februari 2024 yang mencapai 81,78 persen, Pilkada 2020 sekitar 76 persen, dan Pemilu 2019 sekitar 77,5 persen.
Di Jakarta, partisipasi pemilih Pilkada 2024 hanya sekitar 58 persen, turun dari 79 persen pada Pemilu Februari 2024, dan jauh lebih rendah dibanding Pilkada 2017 yang mencapai 70 persen.
Penurunan serupa juga terjadi di Sulawesi Utara, dengan angka 74 persen pada Pilkada 2024 dibandingkan 83 persen pada Pemilu 2024 dan 79,84 persen pada Pilkada 2020.
Di Sumatera Utara, partisipasi Pilkada 2024 hanya 50,68 persen, turun drastis dari 75,08 persen pada Pemilu 2024 dan 79,91 persen pada Pemilu 2019.
Jawa Barat mencatat penurunan dari 81,7 persen pada Pemilu 2024 menjadi 61,79 persen di Pilkada 2024.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, menyebutkan beberapa kemungkinan penyebab fenomena ini.
“Partisipasi pemilih turun, barangkali disebabkan oleh animo pemilih itu sendiri yang enggan menggunakan hak pilihnya,” kata Rendy dalam keterangannya, Senin (2/12/2024).
Ia menambahkan, masyarakat mungkin merasa tidak tertarik atau masa bodoh terhadap pilihan kandidat yang tersedia.
Kemudian tingginya partisipasi pada Pemilu 2024 juga didorong oleh masifnya praktik politik uang.
“Para caleg dan tim suksesnya bekerja langsung ke masyarakat, bukan lagi berbasis partai politik. Namun, pada Pilkada, terutama di tingkat pemilihan gubernur, praktik ini terlalu berisiko dan sulit dilakukan secara luas,” jelas Rendy.
Baca juga: Tingkat Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024 Diperkirakan di Bawah 70 Persen, Apa Penyebabnya?
Lebih lanjut, figur calon kepala daerah yang tidak sesuai harapan masyarakat turut mempengaruhi partisipasi.
“Partai politik perlu mengevaluasi agar kandidat yang diajukan benar-benar memiliki elektabilitas tinggi dan diterima masyarakat,” tambahnya.
Rendy pun menekankan perlunya evaluasi mendalam oleh partai politik, penyelenggara pemilu, dan pemerintah untuk mendorong kembali partisipasi pemilih.
Langkah itu penting agar masyarakat tidak hanya menggunakan hak pilihnya, tetapi juga merasa bahwa suara mereka benar-benar berpengaruh dalam menentukan masa depan daerahnya.