Tinggalkan Gemerlap Kota, Wilmar Simanjorang Pilih Menepi di Hutan Samosir
Wilmar Simanjorang kini menghabiskan waktu terlibat aktivis lingkungan hidup, terutama pelestarian hutan di kawasan Samosir Danau Toba.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, PANGURURAN – “Setelah pensiun, tidak lagi betah di metropolitan, saya berpikir untuk apa berkat yang ada pada diri saya kalau hanya untuk diri saya,” kata Wilmar Simanjorang, Jumat (17/3/2023).
Ia lalu meninggalkan tempat pengabdiannya di kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. “Saya tinggalkan semua pekerjaan saya, lalu pilih pulang ke Sianjurmulamula, Samosir,” lanjut Wilmar.
Lelaki ubanan itu kini memilih tinggal di pedesaan Samosir guna mendekatkan diri terhadap alam.
Ia tinggal di dataran tinggi yang memudahkan dia memandang Pulau Samosir secara jelas.
Hutan pinus dan pohon-pohon rindang serta suara burung akan menjadi temannya bercerita di sekitar huniannya.
Sejak 2012, ia aktif berkecimpung di bidang lingkungan hidup, khususnya hutan.
Bermodalkan fakta di lapangan yang dia alami selama menjadi Bupati Samosir pada 2004-2005, ia tak gentar berjuang demi kelestarian alam.
Ia sering menyuarakan, walau harus maju sendiri.
Menurutnya, Sianjurmulamula memiliki sejarah perjuangan panjang perihal hutan Tele.
Ia memilih tinggal di sana, mendekatkan diri dengan alam. Berbagai permintaan dari investor yang berasal dari luar negri mengenai izin lingkungan hidup, ia tolak mentah-mentah.
Pasalnya, ia sudah tahu hutan di Samosir akan banyak dibabat dengan alasan pengembangan pertanian dan peternakan.
“Waktu saya bupati, saya menolak banyak permintaan izin lingkungan untuk penggunaan hutan. Waktu itu banyak investor yang ingin menggunakan hutan kita. Setelah saya, berbeda,” sambungnya.
“Investor itu bertopengkan perkebunan dan peternakan hanya untuk mengambil kayu alam itu. Setelah itu, mereka pura-pura buat pengembangan pertanian. Tanahnya masih asam, itulah hal yang membuat mereka hengkang,” sambungnya.
Kondisi mengenaskan yang ia lihat sekarang ini adalah berkurangnya jumlah dan kualitas mata air. Pepohonan yang ditebangi selama ini, menurutnya memiliki pengaruh besar terhadap lestarinya mata air.
“Kalau soal mata air di pegunungan, khususnya di Sianjurmulamula mulai dari Sitiotio hingga perbatasan Silalahi sudah ada yang mati,” ungkap Wilmar.
“Di kampungku sendiri, saat saya masih kecil hingga SMA, masih ada mata air yang berdiameter 10 centimeter, namun sekarang ukuran 5 centimeter aja tidak ada,” sambungnya.
“Di bawah pohon itu, ada tahanan air yang mengalir hingga ke jalur bawah tanah. Nah, kalau sudah ditebangi pohon, ya tentu jalur air itu pun terganggu. Ini juga yang membuat banyaknya longsor di kawasan Tele,” terangnya.
Prinsip teguhnya melestarikan hutan melalui menolak investor asing menggunakan hutan di Samosir ia jalankan karena dirinya tak mau disuap.
“Prinsipnya, saya tak mau meminta-minta uang. Sama halnya dengan prinsip yang saya jalankan ke bawahan saya. Saya tak mau minta uang. Jadi yang memberi uang merasa malu begitu juga yang menerima uang. Kalau sekarang, biarlah fakta di lapangan yang berbicara,” terangnya.
“Saya tetap bahagia tanpa uang,” terangnya. Sebagai aktivis lingkungan hidup ia berharap penerusnya tetap ada.
Ia yakin, setiap orang ada zamannya dan setiap zaman ada orangnya. Walaupun demikian, dibutuhkan pengetahuan dan penguasaan perihal hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Sehingga, ketika muncul permasalahan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan, pegiat lingkungan tak kelimpungan.
“Kita berharap para pegiat lingkungan, termasuk dari pihak LSM dan organisasi lainnya semakin mendalami persoalan lingkungan. Sehingga persoalan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan tertentu dapat disuarakan berdasarkan fakta dan kajian hukum yang benar,” terangnya.
“Kalau tahu hukum dan apa yang dilanggar, kan tidak asal berteriak. Setelah tahu, ia harus pergi ke lapangan yang membutuhkan observasi, penelitian dan jangan sendirian sehingga dokumentasinya bisa lebih detail,” terangnya.
Ia juga terpilih sebagai koordinator bidang litbang kepariwisataan pada forum pengembangan pariwisata Samosir. Masih banyak lagi karya yang ia persembahkan pascapensiunan ASN.
Kegigihan dan keuletannya di bidang akademisi membuatnya kerap keluar daerah. Hingga saat ini, ia masih aktif di bidang edukasi dan lingkungan hidup serta pemberdayaan masyarakat di kawasan Danau Toba.
Di bidang lingkungan hidup, ia telah mendapat beberapa penghargaan. Piagam dari Kementerian Kehutananan pada tahun 2011 perihal lomba penghijauan dan konservasi alam wana lestari tahun 2011.
Pada tahun 2015, ia juga pernah menyabet penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi atas pengabdian dan dedikasinya terhadap pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Utara.
Sebelumnya, pada 2013, ia juga mendapat penghargaan dari Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) atas kepedulian terhadap kejahatan di bidang lingkungan hidup.
Pada 2019, ia mendapat piagam penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebagai pionir pengembangan tanaman macadamia di DTA Danau Toba.
Selain mendapatkan penghargaan, ia juga kerap menjadi narasumber perihal pengelolaan lingkungan hidup. Harian Kompas pernah memuatnya dalam kolom “Sosok” pada Senin (15/7/2013).(Tribunnews.com/Tribun Medan/Maurits Pardosi)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI :
Baca Selanjutnya: Penyelamat hutan samosir wilman simanjorang tak gentar dan kenyang tekanan korporasi