Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Forkoma PMKRI Ajak Publik Kritisi Peraturan Pemerintah yang Melegalkan Arorsi

"Oleh karna kami mendorong publik untuk terus mengkritisi Peraturan Pemerintah ini agar pemerintahan baru Jokowi membuka dialog untuk merevisinya

Editor: Domu D. Ambarita
zoom-in Forkoma PMKRI Ajak Publik Kritisi Peraturan Pemerintah yang Melegalkan Arorsi
HO
Forkoma PMKRI bersama Forkes Nasdem menyelenggarakan seminar mengkritisi Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 Kesehatan Reproduksi yang berpotensi diselewengkan untuk melegalkan aborsi. Seminar digelar Sabtu (11/10/2014). Tampak (dari kiri ke kanan) moderator Rosmary Sihombing serta dua pembicara Hermawi F Taslim (Ketua Forkoma PMKRI) dan Yeremias Jena dari unit etika Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta. 

TRIBUNENWS.COM, JAKARTA - Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang pada bagiannya ke-4 mengatur mengenai penyelenggaraan aborsi berpotensi diselewengkan. Kekhawatiran itu mengingat banyak ketentuan hukum yang multitafsir.

Salah satunya adalah pasal 34 ayat 2 PP nomor 61 tahun 2014 tentang pembuktian perkosaan yang berdasarkan keterangan penyidik. Nanti dalam prakteknya, dikhawatirkan akan banyak kasus perkosaan yang bernuansa rekayasa, apabila moralitas penyidik kasus yang bersangkutan dangat rendah.

"Oleh karna kami mendorong publik untuk terus mengkritisi Peraturan Pemerintah ini agar pemerintahan baru Jokowi membuka dialog untuk merevisinya sejalan dengan aspirasi yang berkembang," ujar Ketua Forkoma PMKRI Hermawi F Taslim dalam rilis yang diterima Tribunnews, Minggu (12/10/2014).

Pandangan Taslim ini disampaikannya ketika menjadi pembicara dalam seminar "Legalisasi Aborsi? Kajian Kritis atas PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi" di Jakarta, Sabtu 11 Oktober 2014.

Pernyataan senada disampaikan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang juga Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Dr dr M Naseer. Naseer mengaku banyak menemukan rekayasa kasus perkosaan baik yang bermotif pemerasan dan atau jebakan.

Naseer menyatakan secara umum peraturan pemerintah tersebut bermasalah yakni pada bagian ke-4, dan perlu diperbaiki substansinya.

Sebaliknya pakar Ginekologi dari Universitas Indonesia Dr Ekarini Aryasatiani menyambut baik lahirnya peraturan pemerintah ini ini sebagai payung hukum bagi para dokter yang akan mengambil tindakan.

BERITA REKOMENDASI

"Kalau ada kekurangan masih kita perbaiki bersama, tapi keberadaan PP ini memang sangat dibutuhkan untuk melindungi profesi kedokteran," ujar Rini.

Pembicara lain Yeremias Jena dari unit etika Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta menekankan betapa penting posisi moral setiap oknum yang akan terlibat dalam menjalankan peran yang termuat dalam PP itu. "Ada baiknya kita menentukan posisi moral kita apakah pro- life atau pro-choice," ujar Yeremias.

Seminar ini diselenggarakan atas kerja sama Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (Forkoma PMKRI) dengan kumpulan profesi kesehatan (Prokes) Ormas Nasdem. Seminar dihadiri puluhan peserta, sebagian besar dokter yang bekerja di berbagai poliklinik, puskesmas dan rumah sakit di wilayah Jakarta.

Sebelumnya diberitakan, Presiden SBY menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014. Dalam PP tersebut, dilegalkan aborsi bagi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan, aborsi tetap merupakan praktik terlarang berdasarkan undang-undang. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menurut dia tetap membatasi bahwa aborsi hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat medis dan kasus pemerkosaan. Ini penjelasannya.


"Jadi (masalah aborsi ini) telah dibahas selama 5 tahun. Baik undang-undang maupun PP mengatakan, aborsi dilarang, kecuali untuk dua keadaan, (yakni) gawat darurat medik dan kehamilan akibat pemerkosaan," ujar Nafsiah di Istana Negara, Rabu (13/8/2014). Dia menegaskan, PP ini adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Nafsiah mengatakan, kondisi perlunya aborsi untuk kasus darurat medis mensyaratkan pembuktian dari tim ahli. Adapun dalam kasus pemerkosaan, kata dia, usia janin pun tak boleh lebih dari 40 hari, terhitung sejak hari pertama dari haid terakhir. Aturan ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, ataupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

Penentuan indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, yang paling sedikit terdiri dari dua tenaga kesehatan, yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

Adapun kehamilan akibat pemerkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter dan keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya pemerkosaan.

Pasal 35 ayat (1) PP Kesehatan Reproduksi berbunyi, "Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab."

PP tersebut mendefinisikan praktik aborsi yang dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab tersebut adalah aborsi yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; dilakukan di fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan; atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan; dengan izin suami, kecuali korban pemerkosaan; tidak diskriminatif; dan tidak mengutamakan imbalan materi. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas