Majelis Hakim Diminta Ungkap Rekayasa Kasus JIS
Komisi Yudisial (KY) dan Komnas HAM meminta majelis hakim dalam kasus dugaan kekerasaan seksual di Jakarta Intercultural School
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) dan Komnas HAM meminta majelis hakim dalam kasus dugaan kekerasaan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) dapat mengungkap dugaan adanya rekayasa dan bertindak independen sesuai fakta-fakta persidangan.
"KY melakukan pemantauan sejak awal hingga hari ini. Persidangan harus berlangsung dengan fair. Hakim harus bekerja profesional dan mampu mengungkap kasus yang sesungguhnya terjadi," kata Komisioner KY Imam Anshori Saleh, Jumat (19/12/2014).
Imam menambahkan, dirinya sempat bertemu dengan Wakil Ketua PN Jakarta Selatan dan ketua majelis hakim yang menangani perkara tersebut untuk memastikan persidangan berlangsung adil dan profesional.
Proses hukum kasus dengan terdakwa lima petugas kebersihan JIS - Agun Iskandar, Virgiawan Amin, Zaenal A, Syahrial dan Afrisca - ini telah menjadi perhatian luas lembaga dan praktisi hukum nasional.
Anggota Komnas HAM, Nurcholis mengatakan vonis yang akan dipersiapkan harus berdasarkan fakta di persidangan. "Kita harapkan majelis hakim kasus JIS tetap independen sesuai proses persidangan," kata Nurcholis.
Nurcholis mengakui sesuai investigasi yang telah dilakukan Komnas, tiadanya bukti yang kuat saat proses persidangan telah menciptakan perdebatan alot di internal Komnas. Hal itu terungkap dari keterangan saksi ahli yang diundang dalam persidangan seperti ahli forensik dan psikologi anak.
"Untuk itu, sangat diperlukan independensi majelis hakim supaya vonis sesuai fakta walaupun tuntutan JPU begitu," paparnya.
Komnas HAM menegaskan hasil investigasi yang dilakukan akan selesai sebelum putusan majelis hakim. Hal ini untuk memberikan masukan penting terhadap kasus JIS tersebut.
"Kita usahakan hasilnya bisa selesai sebelum putusan majelis hakim, supaya bermanfaat. Kita akan berikan hasilnya ke majelis hakim, kejaksaan, kepolisian, JIS, kedutaan-kedutaan besar," tegasnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen mengatakan pihaknya intensif memantau perkembangan kasus tersebut. "Putusan harus didasarkan pada fakta dan bukti hukum," kata Halius.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Indonesia Akhir Salmi menekankan pentingnya proses peradilan yang bebas dari segala bentuk rekayasa dalam kasus tersebut. "Hakim bisa mempertimbangkan ada tidaknya rekayasa dalam kasus tersebut," kata dia.
Koordinator Riset The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Ghufron Mabruri, mengatakan diduga kuat telah terjadi kriminalisasi terhadap para petugas kebersihan yang dituduh melakukan sodomi terhadap murid JIS tersebut. Dia menambahkan, Imparsial akan menindaklanjuti juga pengaduan tentang dugaan adanya serangkaian tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penyidik kepada tersangka dalam proses penyidikan.
"Berdasarkan pengaduan dan bukti-bukti visual, dugaan awal telah terjadi kekerasan dan kriminalisasi terhadap mereka (petugas kebersihan)," kata Ghufron.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut lima pekerja kebersihan JIS dengan tuntutan 10 tahun penjara dan denda Rp 100 juta dengan subsidier tiga bulan kurungan. Para terdakwa diduga melakukan sodomi terhadap MAK sebanyak 13 kali dalam periode Desember 2013 hingga bulan Maret 2014.
Patra M Zen, kuasa hukum Virgiawan Amin dan Agun Iskandar mengaku tak habis pikir dengan jalan pikiran jaksa. "Sulit dilayangkan anak umur 6 tahun yang disodomi 6 orang dewasa selama 13 kali duburnya tetap normal dan tetap sekolah dengan ceria. Mungkin hanya di Indonesia wanita dinyatakan terbukti melakukan sodomi," tegas Patra.
Selama 19 kali persidangan, seluruh fakta dan saksi kunci tidak berhasil membuktikan adanya dugaan sodomi seperti yang dituduhkan. Secara medis, empat lembaga kesehatan yaitu SOS Medika, RSCM, RSPI dan RS Bhayangkara Polri menegaskan peristiwa sodomi itu tidak ada.
Kondisi dubur korban MAK normal dan tidak ada luka. MAK juga bersih dari penyakit menular seksual. Fakta ini sangat tidak tidak lazim mengingat korban dikatakan telah disodomi 13 kali.
Secara psikologi, Seto Mulyadi seorang psikolog senior yang hadir sebagai saksi menegaskan, karena faktor traumatik, tidak mungkin seorang anak setelah disodomi akan kembali ke lokasi dimana peristiwa itu terjadi. Sementara faktanya, selama periode Desember 2013-Maret 2014, masa dimana kasus sodomi diduga terjadi, korban MAK tetap ceria ke sekolah.