Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pembunuhan 'Tataa Chubby' Mirip dengan Kisah Fientje de Feniks

Fientje de Feniks (19) dan Deudeuh Alfi Syahrin alias Empi alias Tata Chubby (26), dua PSK yang hidup di periode berbeda

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Pembunuhan 'Tataa Chubby' Mirip dengan Kisah Fientje de Feniks
HO/Twitter
Deudeuh Alfi Sahrin alias Evi alias Empi alias Tata Chubby. 

Aturan ini mulai terbentuk sejak tahun 1852, setelah pemerintah Kolonial mengeluarkan Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen (Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi), tahun 1852, yang membuat pekerja seks begitu terkontrol.

Sementara Tata Chubby, yang hidup di Jakarta tahun 2015 ini justru berada di era prostitusi begitu bebas dan tak terkontrol.

Tata menjajakan diri sendiri lewat Twitter dan memakai kamar kos sebagai tempat prostitusi.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati mengatakan, usia prostitusi sudah amat tua dan masalah utamanya adalah kehidupan sosial yang timpang. Makanya selama masih ada ketimpangan sosial, prostitusi tetap ada.

Makanya, tak heran sejak kematian Fietnje de Fenik 103 tahun lalu, prostitusi tetap tak bisa dihilangkan. Sebab, kata Devie, ketimpangan sosial di Jakarta masih ada sampai sekarang.

"Saya yakin, penyebab utama prostitusi adalah kesenjangan sosial sebab tak ada seorang pun wanita yang ingin menjadi pekerja seks apabila punya pekerjaan yang lebih baik," ucap Devie kepada Warta Kota, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (24/4/2015).

Namun, celakanya, di Jakarta kini sudah bukan ketimpangan masalahnya, tapi budaya konsumtif jadi masalah baru.

Berita Rekomendasi

Makanya, kata Devie, banyak pekerja seks part time di mana mereka bekerja seks bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tapi untuk memenuhi kebutuhan konsumtif lainnya. "Pekerja seks part time ini sudah punya pekerjaan, tapi pekerja seks jadi sampingannya untuk memenuhi kebutuhan lain," ucapnya.

Devie mengatakan, ada beberapa langkah untuk menghambat prostitusi sambil terus memperbaiki ketimpangan sosial dan budaya hidup konsumtif yang memburuk di Jakarta.

Pertama membuat aturan main yang jelas soal prostitusi.

Menurut Devie, para pengguna jasa prostitusi juga harus diberi sanksi. Kebijakan itu sudah dilakukan di Swedia dan efektif mengecilkan keran prostitusi," katanya.

Kemudian, kedua, membuat kembali lokalisasi seperti keinginan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sehingga bisa dilakukan intervensi sosial disana. Apabila ada lokalisasi, maka prostitusi di luarr lokasi mesti dibantai habis. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)

Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas