Kompolnas: Polisi Sering Salah Tangani Kasus Kekerasan Seksual pada Anak
Setiap kematian tak wajar dalam proses penyidikan di kepolisian harus diinvestigasi.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai kepolisian masih sering melakukan kesalahan dalam menangani kasus kekerasaan seksual yang terjadi pada anak. Akibatnya potensi terjadinya kesalahan dalam dalam penetapan tersangka menjadi sangat besar.
Demikian pendapat Komisioner Kompolnas M. Nasser saat dihubungi, Kamis (11/6/2015).
Menurut Nasser penggunaan kekerasan dalam proses penyidikan sebuah kasus seksual pada anak untuk mencari tersangka sangat tidak dibenarkan. Hal itu justru akan berakibat fatal karena orang yang tidak salah dapat dijadikan tersangka karena adanya unsur pemaksaan dan kekerasan.
Nasser juga menanggapi positif langkah Propam Polda Metro Jaya dan Mabes Polri yang melakukan investigasi terhadap kematian tak wajar salah satu pekerja kebersihan PT ISS dalam penyidikan kasus kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS).
"Setiap kematian tak wajar dalam proses penyidikan di kepolisian harus diinvestigasi. Langkah Propam sudah tepat, karena institusi kepolisian harus memastikan bahwa tidak ada penggunaan kekerasan dalam penetapan tersangka kekerasan seksual pada anak. Tidak ada polisi yang kebal hukum," tegas Nasser.
Dalam kesempatan yang sama Komisioner Kompolnas lainnya Andrianus Meliala mengatakan, ada potensi pemaksaan oleh penyidik polisi dalam mencari pengakuan sebagai pelaku kasus kekerasan seksual, salah satunya dalam kasus yang melibatkan para pekerja kebersihan PT ISS terhadap murid TK Jakarta Intercultural School (JIS).
Andrianus bilang jika pengakuan para pelaku di bawah ancaman, maka hasil penyidikan menjadi tidak akurat. Proses penanganan perkara sesungguhnya memiliki mekanisme berjenjang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akurat, dapat dipertanggungjawabkan dan tidak menjadikan orang tidak bersalah sebagai tersangka.
Di kepolisian sudah ada sistem cek dan ricek terhadap penanganan kasus. Itu sebabnya ada jenjang jabatan seperti di level penyidik ada kanitnya, dari kanit ada wasidik, ada satuan pengawasnya. Lalu dari polri jika sudah P19 ada jaksa, jaksa kemudian diverifikasi di sidang.
"Mekanisme check and re check itu sudah baku. Tapi jika semua level itu tuli maka mekanisme tidak akan berjalan dan penunjukkan tersangka bisa orang tak bersalah atau sebaliknya. Dan ini sering terjadi karena mekanisme tersebut tidak berjalan,” kata Adrianus
Adrianus lantas mencontohkan proses penyidikan kasus kekerasan seksual di JIS. Saat penyidikan proses cek dan ricek tidak terjadi. Penyidik seperti memaksakan seseorang menjadi tersangka, sehingga muncul banyak kejanggalan.
“Untuk kasus JIS yang OB, saya menduga para penyidik ditunjuk secara tidak proper (ahli). Kompolnas sudah minta Kanit Pominal (pengawas internal) untuk menginvestigasi kemungkinan kekerasan terhadap OB di JIS untuk mengakui perbuatan sodomi. Kalau pengakuan di bawah paksaan menjadi tidak nyambung. Jadi, semua pengakuan mereka bohong semua. Itulah fungsi dari cek dan ricek,” tegasnya.
Pada 4 Juni, tim propam Polda Metro Jaya dan Propam Mabes Polri mendatangi rumah tahanan negara Cipinang. Mereka melakukan investigasi dengan mengumpulkan keterangan dari Virgiawan Amin, Syahrial, Agun Iskandar dan Zainal Abidin yang kini ditahan di rutan Cipinang.
"Kami berharap Propam dapat mengungkap rekayasa kasus yang telah mengorbankan pekerja kebersihan ini dari perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan," ujar Saut Irianto Rajagukguk, pengacara pekerja kebersihan PT ISS.