UU Pilkada Digugat, Tolak Negara Biayai Kampanye
Andi Asrun mengatakan, ada beberapa alasan mengapa pihaknya menggugat UU Pilkada tersebut, khususnya soal biaya kampanye yang dibiayai negara
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang terkait dengan Pasal 65 Ayat (2), kembali digugat. Penggugatnya adalah dua warga negara Indonesia yakni Nu’man Fauzi dan Achiyanur Firmansyah.
Kuasa hukum penggugat, Andi Muhammad Asrun di Jakarta, Rabu (2/9/2015), mengatakan, pihaknya sudah mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini terkait Pasal 65 Ayat (2) tentang kampanye yang dibiayai oleh negara. Berkas gugatan diterima oleh I Made Gede, petugas pengadministrasi registrasi perkara di Mahkamah Konstitusi (MK).
Andi Asrun mengatakan, ada beberapa alasan mengapa pihaknya menggugat UU Pilkada tersebut, khususnya soal biaya kampanye yang dibiayai negara melalui APBD.
Pertama, UU Pilkada ini bersifat diskriminatif, di mana ada perbedaan perlakuan bagi calon yang memiliki latar belakang sebagai petahana dan nonpetahana.
“Calon petahana akan diuntungkan dan diunggulkan dengan UU ini dan merugikan calon lain yakni para pendatang baru,” katanya.
Kedua, UU ini melegitimasi terjadinya pemborosan uang negara.
Menurut Andi Asrun, kesiapan anggaran menjadi masalah serius bagi penyelanggaraan Pilkada 2015. Terdapat banyak daerah yang belum menganggarkan biaya pilkada dalam APBD 2015. Oleh karena adanya kekurangan anggaran, maka dana penyelenggaraan pilkada terpaksa diambil dari pos lain.
“Anggaran yang diambilkan dari pos lain tersebut apabila mengurangi anggaran dari pos strategis dan skala prioritas, tentunya dapat mengakibatkan terganggunya pembangunan di daerah dan merugikan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya 10 jenis temuan BPK tentang ketidaksesuaian penggunaan anggaran Pilkada,” katanya.
Ketiga, UU ini memanjakan pasangan calon pilkada karena semua biaya kampanye ditanggung negara.
Sebelumnya, pelaksanaan kampanye didanai masing-masing pasangan calon, karena kampanye adalah sarana menyampaikan visi, misi, program pasangan calon, simbol, atau tanda gambar yang bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu.
“Lantas mengapa kegiatan meyakinkan pemilih untuk mendukung yang seharusnya dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanye tersebut harus difasilitasi KPU/KIP dengan dana APBD?” tanya Andi Asrun.
Dikatakan, hal demikian seharusnya tidak dibebankan pada APBD, karena terkait dengan kepentingan pribadi masing-masing pasangan calon.
Seharusnya yang menggunakan dana APBD hanya publikasi tentang pelaksanan pilkada yang bersifat umum, misalnya sosialisasi pelaksanaan pilkada serta ajakan pada masyarakat untuk turut aktif menggunakan hak politik dalam pilkada.
Atas dasar dalil di atas, kata Andi Asrun, pihaknya meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk segera mencabut pasal tersebut dan memohon persidangan dipercepat,” katanya.