Sidang Tas Hermes, Terdakwa Merasa Disudutkan Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menyidangkan kasus dugaan penipuan jual beli tas mewah merek Hermes senilai Rp 950 juta dengan terdakwa Devita
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menyidangkan kasus dugaan penipuan jual beli tas mewah merek Hermes senilai Rp 950 juta dengan terdakwa Devita alias Ping, Senin (14/9/2015).
Kali ini agenda persidangan adalah mendengarkan keterangan terdakwa Devita. Saat dimintai keterangan oleh majelis hakim, Devita memberikan keterangan berbeda dengan apa yang ada dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Dalam keterangannya Devita mengatakan bahwa benar menjual tas tersebut kepada Vivi, namun sampai hari ini Vivi belum pernah melakukan pelunasan. Dan baru membayar secara transfer senilai total Rp 400 juta kepada Devita.
"Saya tidak pernah menerima uang sejumlah Rp. 850 juta seperti yang dituduhkan Ibu Vivi, dan uang Rp. 400 juta pun saya terima sebagai DP secara transfer karena Tas Hermes tersebut termasuk Tas mahal dan perlu DP untuk pembelian awalnya," kata Devita.
Sementara itu kuasa hukum terdakwa, Lexyndo Hakim menegaskan soal Vivi sejatinya belum melunasi tas tersebut sampai hari ini, kemudian Devita tidak pernah menerima uang sejumlah yang dituduhkan Vivi, dan Devita juga tidak pernah memberikan kwitansi pelunasan kepada Vivi pada tanggal 5 dan 28 Februari 2013.
"Bahwa kita dengar bersama-sama, Vivi dan Davina ternyata saling rebutan Tas Hermes tersebut, dan akhirnya Devita yang dikorbankan setelah Laporan kepolisian Vivi kepada Davina tidak jalan," ujar Lexyndo.
Dalam persidangan juga sempat terjadi perdebatan antara hakim dan kuasa hukum terdakwa, salah satunya adalah saat Jaksa Penuntut Umum menghadirkan penyidik Santon Sihombing untuk menjadi saksi.
"Dalam persidangan, hakim malah menyarankan Devita untuk melaporkan balik Vivi dan Davina ke Mabes Polri yang dianggap telah merugikan dirinya sampai ditahan begini," kata Lexyndo.
Bahwa salah satu keterangan dari saksi penyidik menjelaskan, surat panggilan kepada Devita dikirim melalui TIKI ke rumahnya di Medan, lalu laporan dari TIKI dikatakan surat panggilan tersebut tidak sampai.
"Kami tanyakan apakah lazim surat panggilan kepada seorang terlapor dikirim melalui TIKI?, namun Majelis Hakim kok kayaknya seperti meenghalang-halangi kami Pengacara untuk mengorek sedetail-detailnya perkara ini, ini soal nasib orang, nasib ibu dari dua anak yang ditahan, yang bahkan dari sidang-sidang dan keterangan saksi dan alat bukti yang diajukan di Persidangan, tidak ada yang menunjukkan Devita melakukan pidana sesuai yang didakwakan Jaksa," kata Lexyndo.
Lebih lanjut Lexyndo menambahkan, dalam persidangan, Majelis Hakim sempat mengatakan jika merasa persidangan ini tidak fair, bisa menggunakan upaya hukum banding.
"Apakah etis majelis hakim mengatakan hal tersebut? Harusnya Hakim netral dan tidak perlu mengatakan seperti itu, hal ini semakin menimbulkan tanda-tanya dari kami Tim Pengacara dan keluarga Devita," kata Lexyndo.
Lexyndo menegaskan, bahwa Dalam Pasal 158 KUHAP, itu sudah jelas hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah tidaknya terdakwa, namun sepanjang persidangan tadi, majelis terkesan menyudutkan terdakwa ketika memberikan keterangannya.
Dalam persidangan juga ada ketegangan antara hakim dan terdakwa Devita, yang kesal karena merasa hakim memojokkan dirinya.
"Bapak hakim jangan menyudutkan, bapak nggak netral sih," kata Devita.