Kisah Man, Pemulung Bantar Gebang, Tidur dan Makan dekat Sampah serta Lalat yang Beterbangan
Sebentar saja berada di dekat sampah, orang mungkin tak akan tahan baunya.
Editor: Hasanudin Aco
Memakai topi lebar dari anyaman, Man berteduh di bawah payung yang diikatkan pada pasak. Ia memisahkan botol plastik dan kaleng hasil memulung hari ini.
Mungkin tidak ada lagi kata "jorok" dalam kamusnya. Ia tak terusik meskipun ribuan lalat mengerubuti tubuhnya bertelanjang dada.
"Kalau orang gedean udah terhina kalau mungut nyari begini, bau lagi. Kalau kita mau bilang apa, orang hidup juga dari beginian," ujar Man, sambil memilah di depan gubuknya.
Dua dari empat anak Man, ikut berkecimpung dengannya di bidang yang sama. Sementara satu lagi masih bersekolah.
Man hanya satu, dari ratusan pemulung yang hidup dan membangun gubuk di dalam Bantargebang.
Seperti para pemulung lainnya di Bantargebang, ia membangun sendiri gubuk semipermanen dari bahan sisa sampah.
Tempat tinggal Man jauh dari layak jika menilik dari sisi kesehatan.
Gubuk itu berdampingan dengan sampah dan selokan yang dialiri air limbah dari bukit sampah.
Jangankan asuransi kesehatan, jaminan kesehatan misalnya dari pemerintah pun Man mengaku tak punya.
Man pun harus berbagi tinggal dengan empat anggota keluarga di dalam rumah sekitar 4x6 meter yang sempit itu. Namun Man tak punya pilihan lain.
"Boro-boro ada kamar tidur. Langsung aja geletak di dalam," jawab istri Man, ER sambil menggantung pakaian di tali jemuran depan gubuk.
Mulai lelah
Usai memilah sampah, Man menyempatkan diri beristirahat dan makan siang. Tengah hari, ia kembali mendaki bukit.
Man biasanya menargetkan selepas tengah hari untuk mencari mainan anak atau benda lain selain plastik dan botol.