Kisah Man, Pemulung Bantar Gebang, Tidur dan Makan dekat Sampah serta Lalat yang Beterbangan
Sebentar saja berada di dekat sampah, orang mungkin tak akan tahan baunya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Sebentar saja berada di dekat sampah, orang mungkin tak akan tahan baunya.
Namun Man (50) sudah lebih dari 20 tahun tinggal di tempat pembuangan sampah terbesar, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Nasib mengantar pria asal Jawa Barat itu untuk menyambung hidup sebagai pemungut sampah di Bantargebang.
Bersama istrinya, ER (45), Man membesarkan empat orang anak dan cucu hidup di sebuah gubuk di sekitar tumpukan sampah TPST Bantargebang. Ia menyewa gubuk itu Rp 100.000 per bulan.
Boleh dikata, Man berteman dengan sampah selama hampir separuh hidupnya. Ia mengaku memungut sampah di Bantargebang sejak tahun 1990-an.
Hari-hari ia lalui dengan keranjang anyaman kayu di punggung, besi pengait, sarung tangan dan sepatu boots, untuk mendaki bukit.
Bukan bukit alam yang ia daki, melainkan tumpukan sampah warga DKI Jakarta.
Beberapa kali dalam sehari, ia mendaki bukit sampah yang kini rata-rata tingginya hampir mencapai 100 meter.
Di dalam Bantargebang, pemandangan bukit atau gunungan sampah adalah hal lumrah, selain perkantoran, tempat pengolahan limbah, rumah pembangkit, truk sampah, dan lainnya.
"Kalau dulu masih rendah enggak setinggi ini. Coba aja kalau situ naik boleh-balik ini, mungkin sudah capek," kata Man, saat berbincang dengan Kompas.com, di dalam Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (6/11/2015).
Dari pagi hingga siang, Man sanggup tiga kali bolak-balik mendaki untuk memungut sampah.
Separuh hari dia habiskan untuk memulung kemasan plastik dan kaleng bekas minuman.
Sampah lain yang punya nilai jual dipulungnya juga.
Menjelang tengah hari, ia pulang. Bukan untuk beristirahat, tetapi untuk memilah sampah yang baru dipulungnya.