Dulu Tiap Hari Dapat Rp 300 Ribu, Sekarang Rp 50 Ribu Udah Syukur
Aksi unjuk rasa para sopir taksi menentang angkutan berteknologi aplikasi online hari ini,
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Aksi unjuk rasa para sopir taksi menentang angkutan berteknologi aplikasi online hari ini, Selasa (22/3/2016), berlangsung rusuh di beberapa tempat.
Mereka tak terima penghasilannya tergerus sejak kehadiran Go-Jek, Uber, Grab, dan sejenisnya.
Sebenarnya, yang ditentang sopir taksi adalah Uber dan Grab karena dianggap ilegal. Go-Jek tidak ikut disasar. Namun kenyataan di lapangan, para sopir taksi juga turut mengucapkan sumpah serapah kepada Go-Jek. Karena Go-Jek dan kawan-kawan, katanya, rejeki mereka menjadi seret.
Saipul, salah seorang sopir taksi Blue Bird, mengatakan, sebelum ada angkutan beraplikasi setiap hari dia bisa membawa pulang uang ratusan ribu. Namun hal seperti itu sudah lama tak ia rasakan. Ia berujar, pendapatannya berkurang drastis, mencapai 80 persen.
"Dulu bisa dapat Rp 300.000 sehari, sekarang Rp 50.000 sudah syukur," ujar Saiful di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (22/3) siang. Saat itu dia bersama sopir taksi lainnya sedang konvoi menuju Gedung DPR untuk berunjuk rasa.
Berkurangnya pendapatan itu, kata Saiful, sangat memberatkan para sopir taksi, termasuk dirinya. Bahkan dia rela kerja lembur agar bisa mendapat uang lebih untuk diserahkan ke istri. Karena dia tidak punya usaha lain selain menjadi sopir taksi. Namun, sudah begitupun pendapatannya tetap minim.
"Sekarang mau dapat Rp 100.000 saja harus lembur, dari pagi sampai pagi lagi. Coba bayangkan," bilang Saipul.
Bila dihitung bulanan, kata Saiful, sebelum ada ojek online, GrabCar, dan taksi Uber, dia tidak kurang mengumpulkan uang hingga Rp 5 juta. Namun hal itu tak berlaku lagi saat ini. "Paling-paling dapatnya Rp 2 juta. Anak-istri mau dikasih makan apa coba?" katanya.
Bukan hanya Saiful yang menderita.
Dia juga mengaku, ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh rekan-rekannya sesama sopir taksi.
Tiap hari, kata dia, rekan-rekannya selalu mengeluhkan sepinya penumpang yang berakibat tergerusnya pendapatan.
"Banyak teman-teman yang saya kasihan melihatnya. Buat bayar uang kontrakan saja susah. Ini saja saya beruntung sudah punya rumah sendiri," kata Saiful.
Hal itu pun diakui oleh Oding, seorang sopir taksi Express.
Bahkan dibanding dengan awak taksi biru, dia merasa lebih susah lagi. Pasalnya, taksi putih ini menganut sistem setoran.
Dalam sehari, dia harus menyetor Rp 350.000.
Setelah enam tahun, mobil itu akan menjadi milik si sopir. Bila tak sanggup, maka itu akan dihitung sebagai hutang.
"Sebelum ada Go-Jek dan lain-lain itu tidak ada masalah. Setoran selalu bisa terpenuhi. Bahkan kadang masih ada sisanya buat dibawa ke rumah. Sekarang ini ngeri, mas. Kita malah sering ngutang setoran," ucap Oding.
Akibat lain, Oding menjadi sedih terhadap istri dan dua anaknya yang masih kecil. Dulu pada akhir pekan dia kerap membawa istri dan anak-anaknya jalan-jalan. Sekarang hal itu sangat jarang dilakukan. "Makan tahu-tempe sekarang pun udah syukur alhamdulillah," katanya.
Sebenarnya, bilang Oding, dia dan rekan lain tidak bermasalah dengan kehadiran transportasi online.
Hanya saja, dia ingin perusahaan seperti Uber dan Grab mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia karena taksi konvensional pun ikut aturan.
"Jadi biar adil. Grab sama Uber harus ikut aturan, nggak masalah. Banyak juga kok taksi-taksi baru yang lain. Tapi mereka ikuti aturan," kata Oding.
(Gopis Simatupang)