Diduga Ada Kejahatan Korporasi dan Gratifikasi dalam Kasus Ancol Beach City Music Stadium
Pihak berwajib harus melakukan penyelidikan apalagi ini asset milik pemerintah
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPRD DKI Jakarta, Maman Firmansyah meminta penegak hukum mengusut pengalihan penggunaan lahan dengan Perjanjian Kerjasama BTO antara PT Pembangunan Jaya Ancol (PJA) dengan PT Wahana Agung Indonesia Propertindo (WAIP) di Ancol Beach City Music Stadium, Jakarta Utara.
“Jika terjadi pelanggaran, pihak berwajib harus melakukan penyelidikan apalagi ini asset milik pemerintah yang diduga menyalahi aturan," ujar Maman dalam keterangan pers, Rabu (27/4/2016).
Sebagai perusahaan publik, lanjut Maman, sudah seyogyanya PT PJA bekerja secara profesional dalam mengejar keuntungan namun jika dicermati isi kontrak kerja sama antara PJA dengan WAIP terdapat banyak kejanggalan.
Apalagi diketahui WAIP sudah 17 kali wan prestasi terhitung sejak tahun 2004, dan 13 wan prestasi tidak bisa memenuhi kewajibannya.
Maman juga mempertanyakan, dengan adanya kasus tersebut dan membiarkannya, maka ada apa antara PJA dan WAIP di Ancol Beach City?
Sebagaimana diketahui dalam penelusuran Perjanjian Kerjasama BTO (Built Transfer Operate) Music Stadium antara PJA dengan WAIP terdapat wan prestasi gonta ganti PT (menggunakan 4 PT: PTPP, PBCS, WAI, WAIP) tetapi tetap berkontrak dengan orang yang sama sebagai Direktur Utama dan pemiliknya yaitu Fredy Tan sejak tahun 2004.
Ini berarti PJA bekerjasama dengan orang yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya dan merugikan PJA.
Bagaimana bisa Fredy Tan berulang-ulang wan prestasi tetapi berakhir dengan pengalihan ke perusahaan lain kepunyaannya dan juga tetap menjadikannya Direktur Utama?
"Ini sudah bisa dikategorikan sebagai kejahatan korporasi dan gratifikasi," kata Maman.
Akibat ketidak-profesionalan tersebut maka PJA mengalami kerugian dalam lima tahun keterlambatan operasional Gedung Music Stadium.
Data perhitungan yang didapat menyebutkan bahwa revenue potensial lost PJA hingga mencapai Rp 78 Miliar.
Dalam hal ini maka dapat pula dipertanyakan bagaimana bisa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menemukan adanya kerugian selama 5 tahun tersebut dari seharusnya beroperasi mulai 2008 – tetapi terlambat sampai tahun 2013.