Surat BJ Habibie Pada Jokowi Picu Kekecewaan Netizen
Surat dari Presiden ke-3 RI, BJ Habibie pada Presiden Jokowi tentang penundaan hukuman bagi seorang terpidana mati tuai kekecewaan.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM - Surat dari Presiden ke-3 RI, BJ Habibie pada Presiden Jokowi tentang penundaan hukuman bagi seorang terpidana mati tuai kekecewaan, Jumat (29/7/2016).
Suara dari bunia maya kembali menggema, tak sedikit netizen yang sampaikan kekecewaannya.
Melalui kolom komentar pada berita terkait di Tribunnews.com beberapa netizen sampaikan kritikannya.
Netter mengaku heran kenapa BJ Habibie membela terpidana mati yang dinilai telah merusak generasi muda.
"Elehhhh,,, jelas2 penjahat , musuh terbesar negara pengedar narkoba .. koq di bela-belain mesti nya kirim surat ke pak jokowi," tulis akun dengan nama Riyan Afendy.
Sementara akun lainnya menulis.
"Kalau hukum kita benar scr material bhw ybs memang pemasok narkoba....yg menghilangkan masa depan generasi...kenapa harus dibela sih."
"Jadi bukan TKO atau TKW yg nggak ngerti laly dititipi kena hukuman mati....atau pacar si penyelundup yg dihukum ttp cari smp ketemu penyelundupnya lalu di dor."
"Disitu hatinurani hrs masuk dlm proses pengambilan keputusan pengadilan. lihat "potongan" dan penampilan org juga. "
"Hakim hrs peka dg kemanusian dan hrs punya indra ke 6 ttg narkoba...agar yg dihukum mati yg bener bandar pembuat dan cukungnya. jangan yg ecek2 istilahnya."
Demikian tulis akun dengan nama Maskurun Mulyosukarto.
Selain heran dengan langkah Habibie, di media sosial beberapa netter menanyakan permintaan Habibie.
Ada juga yang bertanya siapa Zulfikar Ali sampai Habibie meminta langsung penundaan hukumannya pada Jokowi.
Via Twitter banyak juga yang posting surat BJ Habibie tersebut.
Surat BJ Habibi jadi bahan pertimbangan pemerintah
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Kejaksaan Agung telah mempertimbangkan surat dari Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie terhadap terpidana mati Zulfiqar Ali.
Selain BJ Habibie, surat permintaan serupa datang dari Komnas Perempuan agar menunda eksekusi mati Merry Utami.
"Berbagai masukan yang diberikan baik itu Pak Habibie, Komnas Perempuan dan berbagai masukan jadi catatan pertimbangan oleh pemerintah," ujar Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Namun Pramono mengatakan, hal tersebut menjadi kewenangan sepenuhnya dari Jaksa Agung M Prasetyo.
"Maka dengan demikian, sekali lagi masukan-masukan itu tentunya menjadi pertimbangan."
"Dan sekarang ini mengenai jumlah dan sebagainya, apakah hanya 4 atau masih ini sepenuhnya kewenangan itu ada pada Jaksa Agung," ucap Pramono.
Diketahui, nama Zulfiqar Ali asal Pakistan dan Merry Utami asal Indonesia masuk daftar hukuman mati jilid III.
Namun, yang dieksekusi hanya empat orang, yaitu Freddy Budiman (Indonesia), Michael Titus Igweh dan Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria), serta Seck Osmane (Senegal).
Surat Habibie
Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie menyurati Presiden Joko Widodo agar meninjau kembali keputusan eksekusi mati terhadap terpidana mati asal Pakistan, Zulfiqar Ali.
Saat dikonfirmasi, surat itu dibenarkan oleh Direktur Eksekutif The Habibie Center, Ima Abdulrahim.
"Benar dari Pak Habibie. Sudah (dikirim ke Presiden). Kemarin dikirim dan diterima," ujar Ima saat dikonfirmasi, Kamis (28/7/2016) malam.
Namun, Ima mengatakan, belum ada respons yang diberikan Jokowi atas surat dari Habibie tersebut.
"Belum ada respons secara langsung ke Pak Habibie," kata dia.
Adapun dalam surat tersebut Habibie mengatakan, dari laporan para advokat dan lembaga swadaya masyarakat yang telah mempelajari kasus-kasus hukuman mati, warga negara Pakistan Zulfiqar Ali dinilai tidak bersalah.
"Saya mengimbau kepada Bapak Presiden untuk meninjau atau mempertimbangkan kembali keputusan eksekusi tersebut," tulis Habibie.
"Pada kesempatan ini, saya pula ingin menyarankan kepada Bapak Presiden untuk mempertimbangkan kembali penetapan kebijakan moratorium pada hukuman mati," kata dia.
Habibie menambahkan, lebih dari 140 negara di dunia sudah menerapkan kebijakan moratorium atau penghapusan hukuman mati.
Ia mengaku tahu betul tantangan narkoba di Indonesia. Politisi senior Partai Golkar itu pun meragukan bahwa hukuman mati dapat mengurangi peredaran narkoba dan penggunaan ilegal.
Habibie mencontohkan seperti di beberapa negara, misalnya Swedia.
"Ternyata sangat mungkin memerangi narkoba tanpa penetapan hukuman mati, seperti yang telah dilakukan Swedia dan beberapa negara lain," kata Habibie.(Tribunnews/Imanuel Nicolas Manafe/ Kompas.com)