25 Persen Vote Mengejutkan Hasil Polling Tribunnews soal Wacana Mendikbud Full Day School
Sebanyak 25 persen vote hasilnya mengejutkan terkait wacana Mendikbud Muhadjir Effendi soal sekolah full day. Apa itu? Simak ini.
Penulis: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM - Sebanyak 25 persen vote hasilnya mengejutkan terkait wacana Mendikbud Muhadjir Effendi soal sekolah full day, Selasa (9/8/2016).
Tribunnews membuat polling di Twitter terkaita wacana full day school.
"#FullDaySchool ko-ekstrakurikuler nuansa fun. Alasan Mendikbud http://goo.gl/TSPTQ3 Setujukah Anda konsep ini?"
Demikian tweet polling yang dilontarkan ke publik.
Polling yang mengambil waktu selama satu jam tersebut diikuti oleh 161 responden (akun Twitter).
Responden dipersilakan klik setuju atau tidak setuju.
Hasilnya bisa ditebak, sebagian besar mengaku tak setuju.
Hal ini sesuai dengan aspirasi netizen yang beredar di dunia maya.
Mulai dari petisi di Change.org yang mengajak untuk menolak wacana tersebut, pendapat yang bertebaran di Facebook maupun di Twitter serta berbagai 'perang' diskusi di dunia maya.
Sebagian besar tak menyetujui wacana full day school lantaran dinilai tak memberi kesempatan anak-anak untuk bermain, melaksanakan kegiatan luar sekolah sesuai dengan minat atau bakatnya, berolahraga, bermain dan sosialisasi di lingkungan rumah serta ditengarai bakal membuat anak tertekan.
#FullDaySchool ko-ekstrakulikuler nuansa fun. Alasan Mendikbud https://t.co/qHAsXkHO3Z Setujukah Anda konsep ini?
— TRIBUNnews.com (@tribunnews) August 9, 2016
Meski demikian hal yang mengejutkan ada 25 persen menyetujui wacana ini.
25 Persen dari 161 responden berarti ada 40 responden yang setuju dengan wacana ini.
Ini merupakan jumlah yang tinggi bila melihat banyaknya suara yang tak menyetujui wacana Mendikbud.
Petisi penolakan
Petisi bertuliskan 'Tolak Pendidikan "Full Day/Seharian Penuh di Indonesia" dibuat oleh Deddy Mahyarto Kresnoputro.
INSTAGRAM/SOPHIA LATJUBA
Selasa (9/8/2016) pukul 18:52 WIB, dukungan petisi mencapai 27.211 pendukung yang menandatangani petisi online tersebut.
Dengan jumlah itu, kini masih perlu 7.789 untuk mencapai 35.000 orang yang menandatangani petisi ini.
Dalam petisi itu tertulis jelas tujuannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan orang tua murid.
Dalam Petisinya juga terdapat tiga komentar pendukung, yakni dari Afri Saragih, di Bekasi.
Ia menuliskan komentarnya:
"Sekolah full day hanya merampas kemerdekaan anak-anak. Sudah terbukti bertahun-tahun sistem pendidikan yg hanya fokus pada angka, hanya menghasilkan manusia manusia tidak kreatif! Membuat orang dewasa kekanak kanakan! Kembalikan hak hak anak! Keluarga adalah pendidikan yg utama! Kembalikan keceriaan masa anak anak Indonesia! Jangan "penjarakan" anak2 didalam satu gedung bernama SEKOLAH! Karena belajar itu sepanjang masa BUKAN selama disekolah!! Alam raya adalah sekolah yang sebenarnya!"
Karina Adistiana, Indonesia juga menyertakan komentarnya di dalam petisi "Tolak Pendidikan "Full Day"/Sehari Penuh di Indonesia".
"Peran orangtua & keluarga sebagai teladan utama dalam pendidikan karakter tidak bisa seenaknya diambil alih oleh sekolah. Pendidikan bermasyarakat juga terancam ketika anak menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah. Data dan keberagaman di Indonesia perlu menjadi pertimbangan dalam membuat suatu kebijakan nasional, karena area seorang Mendikbud tidak hanya mencakup 1-2 kecamatan, melainkan seluruh daerah di Indonesia tanpa terkecuali. Sekolah bukan pabrik dan juga bukan penjara!!"
Komentar pendukung lainnya datang dari Astrid Ariani Wijana, Indonesia. Ia mengatakan, "Sekolah full day tidak akan menjamin karakter anak yang lebih baik karena yg membentuk karakter anak bukan hanya sekolah tapi juga interaksi dengan orang tua dan lingkungan sekitar. Pendidikan dasar seharusnya berimbang."
Alasan Mendikbud wacanakan full day school
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menggagas sistem "full day school" untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta. Alasannya agar anak tidak sendiri ketika orangtua mereka masih bekerja.
"Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja," kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Minggu (7/8/2016).
Menurut dia, kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja.
Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama-sama orangtua mereka sehingga ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya oleh orangtua.
Untuk aktivitas lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam, menurut Mendikbud, pihak sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz dengan latar belakang dan rekam jejak yang sudah diketahui.
Jika mengaji di luar, mereka dikhawatirkan akan diajari hal-hal yang menyimpang.
Menyinggung penerapan full day school dalam pendidikan dasar tersebut, mantan Rektor UMM itu mengatakan bahwa hal itu saat ini masih terus disosialisasikan di sekolah-sekolah, mulai di pusat hingga di daerah.
"Nantinya memang harus ada payung hukumnya, yakni peraturan menteri (permen). Namun, untuk saat ini masih sosialisasi terlebih dahulu secara intensif," ujarnya.
dimana sekolah tidak bertangungjawab dan keluar belum menerimana, ini lah celah pengaruh buruk bagi anak," katanya.
Perpanjang waktu di sekolah tersebut menurut mantan Rektor universitas Muhammadiyah Malang tersebut nantinya akan digunakan untuk pemberian pendidikan karakter.
Hal itu sesuai dengan program Nawacita presiden Joko Widodo.
"Nuansanya juga tidak serius melainkan fun," pungkasnya. (*)