Gara-gara Ini, Ayah Mirna Marah, Sempat Berdebat dengan Kuasa Hukum Jessica
Saat akan membagikan ke area kuasa hukum Jessica, Darmawan tiba-tiba berdebat dengan Effendi.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM - Edi Darmawan Salihin, ayah dari Wayan Mirna Salihin, sempat berdebat dengan salah satu kuasa hukum Jessica Kumala Wongso, Effendi Sinaga.
Perdebatan terjadi sebelum berlangsungnya sidang lanjutan kasus kematian Mirna di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/8/2016).
Pantauan KOMPAS.com, Darmawan memasuki ruang persidangan sekitar pukul 09.20 WIB.
Darmawan langsung menuju area persidangan.
Ia terlihat membawa tas dan dokumen di dalam map berwarna biru.
Darmawan kemudian mengambil dokumen dan membagikannya kepada jaksa penuntut umum (JPU) dan meja hakim.
Saat akan membagikan ke area kuasa hukum Jessica, Darmawan tiba-tiba berdebat dengan Effendi.
"Ini urusan saya dengan hukum, enggak ada kaitan sama Anda," kata Darmawan kepada Effendi.
Effendi yang masih duduk terlihat menampakkan muka masam kepada Darmawan.
Tak lama, Darmawan pun kembali berbicara.
"Bapak polisi? Bukan kan. Karena gak ada kaitannya dengan bapak. Saya mau joget kek atau apa ya terserah," kata Darmawan.
Effendi pun hanya mengatakan 'terserah'. Mendengar jawaban itu, Darmawan langsung pergi.
Saat dikonfirmasi, Darmawan mengaku dokumen yang ia bagikan adalah foto Mirna saat di Rumah Sakit Abdi Waluyo.
"Ini foto buat buktikan kalau sianida saat pertama kali itu sangat besar," kata Darmawan kepada Kompas.com.
Sayangnya, Darmawan tak menjelaskan maksud pemberian foto itu kepada JPU, majelis hakim, dan kuasa hukum Jessica.
Sementara itu, Effendi mengaku hanya menanyakan maksud dari Darmawan.
"Tadi cuma nanya aja itu apa. Ternyata foto. Itu saya terima juga," kata Effendi.
Wayan Mirna Salihin meninggal setelah meminum kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica Kumala Wongso di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016).
Jessica menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.
JPU memberikan dakwaan tunggal terhadap Jessica, yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.
Jessica syok, nangis, dan stres
Jessica Kumala Wongso, terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, menderita tekanan psikis setelah mendengar ucapan anggota majelis hakim Binsar Gultom di sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin.
Binsar Gultom mengatakan, seseorang bisa dihukum tanpa ada saksi melihat kasus pembunuhan.
Dia berkaca di putusan hakim terdahulu mengenai kasus pembunuhan dan pencabulan anak di bawah umur, AAP, yang ditemukan tewas di Jasinga, Bogor, Jawa Barat.
"Pernyataan hakim Binsar itu mengatakan tidak ada saksi bisa dihukum. Dia bilang kasus di Bogor, tanpa saksi bisa dihukum. Itu membuat Jessica syok," ujar Otto Hasibuan, kuasa hukum Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/8/2016).
Setelah mendengar pernyataan itu, kata dia, Jessica menangis dan tak mempercayai Binsar.
Sebelum Binsar mengatakan itu, Jessica masih bersikap tenang.
Namun, ucapan Binsar membuat kondisi Jessica berubah.
"Dia nangis terus. Dia shock, dia sakit, stres gara-gara itu. Jessica sendiri sudah tidak meyakini hakim Binsar. Ketika Pak Binsar mengatakan itu tanpa saksi bisa dihukum, dia down. Keadilan di mana lagi," kata dia.
Dia menilai, setiap perkara pidana tidak dapat disamakan.
Di kasus pencabulan dan pembunuhan anak di bawah umur di Jasinga, Bogor, pelaku mengakui perbuatan.
Sementara kasus kematian Mirna, Jessica tidak mengakui telah membunuh Mirna.
"Dia tidak bisa samakan dengan perkara lain. Perkara lain ada kriteria sendiri. Jadi sangat tragis memang," tambahnya.
Atas pernyataan tersebut, tim Kuasa Hukum Jessica Kumala Wongso mengajukan permohonan penggantian hakim Binsar Gultom.
Salah satu hakim di sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin itu disinyalir telah mengintervensi.
Binsar Gultom sempat mengatakan di dalam persidangan "Siapa yang membuat racun di dalam masih harus kita gali tidak perlu harus kita siapa yang menaruh, tetapi ini ada korban."
"Tidak mungkin ada hantu di sana. Ini perlu kita renunglan sekarang sejenak, sekalipun tidak kita ketahui siapa yang memasukkan, tetapi ada korban. Salah satu contoh waktu pembunuhan anak di bawah umur 12 tahun di Jasinga, Bogor, yang kami hukum seumur hidup, tidak ada yang melihat pembunuhan itu karena hanya dia sendiri, terdakwa itu sendiri. Tetapi akhirnya kami hukum seumur hidup dan diterima hukuman itu. Dan ini apakah akan seperti ini nanti, kita lihat, ini harus kita gali," ujar Binsar.