Perjuangan Nenek 87 Tahun Bertahan Hidup dengan Memungut Sisa Beras di Cipinang
Minah mengandalkan hidup dari sisa beras di Pasar Induk Cipinang. Jika musim hujan, dia satu hari bisa tidak makan.
Editor: Rendy Sadikin
“Kontrakan sebulan Rp500 ribu, dibagi tiga dengan dua teman saya. Sudah untung saya tidak hidup menggelandang, karena banyak teman saya di sini (sesame pengumpul beras) yang tidur di sembarang tempat karena uangnya tidak cukup untuk mengontrak. Kalau saya, soal makan tidak penting. Yang penting ada tempat tidur meski sempit,” katanya.
Penderitaan para pengumpul beras di sana terjadi pada musim hujan. Pada musim tersebut, beras yang tercecer sangat sulit diambil karena bercampur dengan lumpur tanah.
Minah pun harus bekerja berlipat-lipat kali untuk membersihkan beras, memisahkan dari lumpur. Hasil yang didapat, jelas tidak maksimal.
“Kalau hari biasa kan bisa makan dua sampai tiga kali sehari, meskipun kadang nggak pakai lauk juga. Kalau musim hujan, ya saya sering puasa. Bukan semata-mata karena ibadah, tapi nggak ada yang dimakan,” kisahnya.
Tujuh Kucing
Hal paling mengiris batin, ketika Minah dilanda kerinduan kepada anak dan satu cucunya. Di saat ingin pulang ke kampung halaman, namun tidak ada sepeserpun uang yang ia miliki.
Kondisi itu, kata Minah, menjadi moment yang paling menyiksanya.
Padahal, dulu, ketika usianya belum tua seperti sekarang, ia kerap membayangkan kehidupan masa tua yang tenang, bisa berkumpul dengan anak cucu.
Tetapi kenyataan berbicara lain. Minah tetap harus melanjutkan hidup, meskipun dengan perjuangan yang tak mudah.
Saat Minah sakit, ia juga merasakan betapa sedihnya hidup sendirian, jauh dari keluarga.
Terkadang, ketika ia merasakan sakit luar biasa, ia tidak ingin memperlihatkan rasa sakit itu di hadapan semua orang.
Ia tetap datang ke pasar dan bekerja seperti biasa. Namun demikian, Minah tidak berhasil menyembunyikan sakit yang dideritanya. Melihat kondisi Minah yang lemah dan pucat, beberapa temannya mengantarkan Minah pulang.
“Kalau saya sakit, saya nangis sendiri. Mau minta tolong ditelponin ke kampung, saya takut nanti malah merepotkan. Mau berobat di sini, ndak punya uang. Tapi pernah, suatu hari saya kejang-kejang, teman saya telpon anak saya. Saya dijemput ke sini dan dibawa pulang. Tapi setelah sembuh saya berangkat ke sini lagi,” kata Minah.
Di masa senjanya, Minah kesepian. Tetapi ia beruntung memiliki tujuh kucing kesayangan, tiga kucing di rumah kontrakan dan empat kucing lain di ‘markas’ Minah, di sebuah gubug beratap terpal, di sudut pasar.