Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perjuangan Nenek 87 Tahun Bertahan Hidup dengan Memungut Sisa Beras di Cipinang

Minah mengandalkan hidup dari sisa beras di Pasar Induk Cipinang. Jika musim hujan, dia satu hari bisa tidak makan.

Editor: Rendy Sadikin
zoom-in Perjuangan Nenek 87 Tahun Bertahan Hidup dengan Memungut Sisa Beras di Cipinang
WARTA KOTA/Feryanto Hadi
Minah (87) yang mengandalkan hidup dari sisa beras di Pasar Induk Cipinang. Jika musim hujan, dia satu hari bisa tidak makan. 

“Dulu bisa banyak dapatnya. Sekarang paling banyak 10 liter, itupun kalau kondisi saya sedang sehat,” kata Aminah sambil terengah, Selasa (18/10/2016).

Beras yang dikumpulkan Minah adalah beras tidak layak makan, lebih kepada serpihan beras. Biasanya, setelah beras terkumpul, ada orang yang datang ke pasar itu untuk membeli beras yang dikumpulkan Minah dan rekan-rekannya.

“Berasnya itu buat makan ayam. Seliter harganya Rp 4 ribu. Kalau sudah langganan ya saya jualnya Rp3500. Tapi kadang ada beras yang layak makan, saya bawa pulang. Tapi jumlahnya sangat sedikit,” jelasnya.

Usia Minah kini sudah 87 tahun. Di Jakarta, ia lebih banyak hidup sendirian. Sebenernya dia tinggal mengontrak dengan dua rekan lain sesama pengumpul beras, di belakang komplek Pasar Induk Beras.

Tapi, mereka jarang di kontrakan. Minah dan rekannya lebih banyak menghabiskan waktu di Pasar Induk Beras, agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Menyambung hidup

Minah berasal dari sebuah desa di Solo, Jawa Tengah. Keputusannya merantau ke Jakarta puluhan tahun silam, karena ia terkena PHK dari sebuah perusahaan pabrik rokok di Madiun.

BERITA REKOMENDASI

Pada saat bersamaan, suaminya meninggal dunia lantaran sakit.

“Saya dari Solo, merantau ke Madiun. Tapi pabrik rokok tempat saya bekerja tutup. Saya bingung mau ke mana lagi, di kampung saya tidak punya sawah. Jadinya saya ke Jakarta saja ikut teman saya. Saya diajak ngumpulin beras begini,” katanya.

Sebenarnya Minah punya seorang anak yang saat ini tinggal di kampung halaman, di Solo.

Anak Aminah sudah menikah dan bekerja sebagai buruh tani di sawah milik para tetangganya.

Sang anak sebenarnya sudah meminta Minah agar hidup bersamanya di kampung. Hanya saja, Minah tak enak hati lantaran ia tidak mau merepotkan hidup anaknya yang juga susah.


“Saya bilang ke anak saya, ‘le, aku ndak mau jadi beban kamu. Biar aku di Jakarta saja nyari uang. Kami urusi saja keluargamu,’.”

Penghasilan Minah sebagai pengumpul beras tak menentu. Terpenting bagi Minah, ia bisa menabung sedikit untuk membayar biaya patungan rumah kontrakan. Sisa uangnya, ia gunakan untuk membeli kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Halaman
1234
Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas