Korban Penggusuran: Dulu Sehari Bisa Rp 3 Juta, Sekarang untuk Makan Saja Syukur
Dulunya, mereka punya warung dengan bangunan permanen di Pasar Ikan, tak jauh dari Kampung Akuarium.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dandang berukuran sedang yang berisi penuh nasi tampak di sebuah warung semi-permanen di lokasi bekas penggusuran di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (10/1/2017).
Di tengah suasana terik, seorang perempuan paruh baya tampak duduk sendiri sambil mengiris bawang.
Januari ini, tepat tujuh bulan perempuan itu berjualan di warungnya yang baru.
Perempuan yang belakangan diketahui bernama Tarmi (49) itu merupakan satu dari sekian banyak warga Kampung Akuarium yang menolak dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa di Marunda, Cilincing, dan Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur.
Baca: Agus: Jangan Pilih Pemimpin yang Bisanya Hanya Menggusur dan Menyakiti Hati Rakyat
Warung semipermanen yang ditempati Tarmi baru dibangun pasca-penggusuran. Dalam kesehariannya, Tarmi dan suaminya, Kasmuji (56), berjualan soto ayam dan soto babat.
Dulunya, mereka punya warung dengan bangunan permanen di Pasar Ikan, tak jauh dari Kampung Akuarium.
Seperti tempat tinggalnya, warung Tarmi ikut digusur dalam selang waktu yang tak begitu lama setelah rumah mereka digusur.
Sebelum digusur, Tarmi mengaku bisa mengantongi Rp 3 juta per hari dari berjualan soto. "Sekarang Rp 200.000 saja belum tentu. Cukup buat makan saja syukur," kata dia saat ditemui Kompas.com, Selasa (10/1/2017).
Baca: Korban Penggusuran Kampung Akuarium Ini Menangis Ketika Disambangi Prabowo
Menurut Tarmi, menurunnya omzet ini disebabkan tempat berjualannya yang kurang nyaman. Selain itu, ada eksodus sebagian warga Pasar Ikan dan eks tetangganya di Kampung Akuarium ke rusunawa.
Tarmi mencontohkan banyaknya nasi putih yang bisa dihabiskannya dalam sehari. Sebelum penggusuran, dalam satu hari, ia bisa menjual nasi putih satu dandang berukuran besar.
Namun kini, nasi putih seukuran dandang sedang saja kadang hanya habis setengahnya.
"Ini (dandang) punya saya yang dulu," ujar dia seraya memperlihatkan dandang lamanya yang kini tak digunakan.
Penggusuran di Pasar Ikan dan Kampung Akuarium ini terjadi pada pertengahan April 2016. Tarmi punya alasan menolak dipindahkan ke Rusunawa Marunda.
Ia mendengar kabar dari para eks tetangganya sesama pedagang yang mengeluhkan tak strategisnya lokasi berjualan yang berdampak terhadap anjloknya omzet.
Menurut Tarmi, anjloknya omzet itu menyebabkan para tetangganya tidak mampu membayar sewa rusun.
Hal itulah yang membuatnya lebih memilih untuk menetap di Kampung Akuarium. "Biar cuma dapat dikit, tetapi enggak mikirin bayar tempat tinggal," ucap perempuan yang sudah tinggal di Kampung Akuarium sejak 1978 ini.
Pasca-digusur, Tarmi dan keluarganya menetap di bangunan semipermanen berdindingkan tripleks dan beratap seng di atas lahan bekas rumah lamanya yang sudah rata dengan tanah.
Terpantau, ada banyak rumah sejenis yang kini berdiri di Kampung Akuarium dan Pasar Ikan.
Selain rumah, warga membangun sebuah mushala yang juga dibangun dari tripleks dan seng.
Menurut Tarmi, kondisi yang terjadi di Pasar Ikan dan Kampung Akuarium kini kontras dibanding sebelum penggusuran.
Ia menilai, rumahnya dan rumah para tetangganya bisa digolongkan rumah layak huni ketika itu.
"Saya habis duit buat bangun rumah Rp 200 juta. Tetangga saya banyak yang sampai Rp 400 juta-Rp 500 juta," ucap perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini.
Penulis: Alsadad Rudi