Nasib Pasukan Orange, Bayar Rp 500 Ribu atau Dipecat hingga Kisah Sedih Nenek Tinah
Pasukan Orange, petugas harian lepas (PHL) Jakarta punya cerita. Beberapa tentang dugaan penyimpangan oknum yang merugikan hingga kisah sedih.
Editor: Robertus Rimawan
Pada tahun sebelumnya, kelurahan hanya bertindak sebagai pengawas.
Nenek Tinah Shalat di Trotoar Kompleks GBK Senayan
Kisah Nenek Tinah pernah terungkap sebelumnya. Saat ia masih menjadi petugas kebersihan, beginilah kehidupan sehari-hari Nenek Tinah beberapa bulan lalu, tepatnya September 2016.
Saat itu sayup-sayup azan Isya berkumandang di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Di pinggir pagar kompleks itu, tepatnya di trotoar yang menghadap Gedung Kemenpora yang berada di seberang, terlihat sesosok perempuan yang sedang berdiri.
Dalam kegelapan malam dengan temaramnya lampu, lambat laun terlihat gerakannya menyerupai orang yang sedang menjalankan shalat.
Tidak nampak sajadah yang empuk terhampar, pun tidak terlihat mukena putih yang melekat di tubuhnya.
Sajadah yang menjadi alas hanya lembaran spanduk pemberitahuan.
Di depannya, tersandar sapu lidi dan di belakangnya baju oranye terlihat menyangkut di teralis pagar GBK.
Lokasi shalat di sebelah kanannya terserak tanah dan bebatuan dengan lubang galian yang menganga panjang karena ada pembongkaran trotoar, sedangkan di sebelah kirinya berdiri kokoh pagar GBK.
Lalu lintas kendaraan yang memang saat itu adalah jam keramaian, menyumbang kebisingan di lokasi.
Namun, perempuan itu berhasil menyelesaikan ritual kewajibannya untuk waktu malam.
Usai menjalankan shalat, Kompas.com pun menemuinya. Dia menyebut namanya adalah Nenek Tinah.
Tidak jelas berapa usianya. Berdasarkan tebakannya, dia lahir 3 tahun sebelum pelaksanaan Pemilu 1955.
"Saya tidak pernah meninggalkan shalat, itu sudah kewajiban," kata Nenek Tinah ditemui pekan lalu.
Trotoar itu jadi tempatnya beribadah lantaran tidak ada lokasi terdekat untuk shalat. Selain itu, ia meyakini waktu paling tepat beribadah adalah ketika suara azan memanggil.
Nenek Tinah merupakan warga kelahiran Pemalang, Jawa Tengah yang mengadu nasibnya di Jakarta pada akhir 1990an.
Ia berangkat ke Ibu Kota bersama suami dan anaknya.
Ketika sampai di Jakarta, ia bekerja serabutan dan menjadi tukang bersih-bersih. Kini, ia menjadi petugas Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat. Sedangkan anaknya memilih berdagang.
"Sekarang lumayan gajinya, Rp 3,1 juta tiap bulan," katanya dengan muka berseri.
Uang itu tidak langsung dihabiskan oleh Nenek Tinah. Rp 2 juta ia ambil dari ATM untuk keperluannya sehari-hari, sisanya ia sisihkan untuk menabung.
Nenek Tinah tinggal di sebuah kamar kos-kosan di daerah Palmerah.
Sebulan, ia membayar Rp 500.000. Namun, lantaran kosan itu terbilang kecil, maka ruangannya pun tak cukup untuk dirinya berbagi.
"Cuma cukup naro barang sama kasur aja. Suami saya yang tidur di situ, saya kalau lagi enggak betah ya tidur di jalan," ceritanya.
Jam kerja Nenek Tinah terbilang cukup lama. Jika sedang berada di kos, ia berangkat setelah Shalat Subuh sekitar pukul 05.00 WIB ke wilayah kerjanya di sepanjang Jalan Gerbang Pemuda. Jam kerjanya selesai sekitar pukul 17.00 WIB. (WartaKota/Mohamad Yusuf/Kompas.com/Jessi Carina/Fidel Ali)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.