Penegak Hukum Harus Tegas Tangani Konflik FPI - GMBI
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Imdadun Rahmat menilai hal tersebut penting untuk meredam konflik lanjutan.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi harus tegas dan profesional menangani perkara pidana yang terjadi seputar konflik antara Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI).
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Imdadun Rahmat menilai hal tersebut penting untuk meredam konflik lanjutan.
"Komnas HAM sekali lagi menyerukan harus ada tindakan hukum yang tegas, terhadap berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh ormas-ormas yang mengedepankan kekerasan," ujar Imdadun Rahmat kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakrta Pusat, Selasa (17/1/2017).
Konflik tersebut berawal dari penyerangan masa GMBI terhadap masa FPI di Bandung, Jawa Barat, pada hari Kamis kemarin (12/1), usai pemeriksaan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab.
Buntut dari aksi tersebut adalah aksi pembakaran markas GMBI di Ciampea, Bogor, Jawa Barat, pada hari Jumat (13/1).
Setelahnya masa FPI berencana menggelar aksi agar Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian mau mencopot Irjen Pol Anton Charliyan dari jabatan Kapolda Jawa Barat.
Salah satu alasannya adalah Irjen Pol Anton Charliyan merupakan Ketua Dewan Pembina GMBI.
Dengan tindakan yang tegas, menurut Ketua Komnas HAM siapapun kedepannya akan berpikir dua kali sebelum melakukan kekerasan serupa.
Namun tindakan tegas itu harus sesuai aturan yang ada, sehingga keadilan dapat ditegakkan.
"Soal ada anggota atau pengurus yang melakukan tindakan pelanggaran hukum, ya harus diproses hukum tanpa tebang pilih, tanpa ragu-ragu, tanpa diskriminasi," katanya.
Kalaupun organisasi-organisasi yang terlibat konflik itu harus dibubarkan, maka pembubaran itu harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, yakni melalui putusan pengadilan.
Imdadun Rahmat mengingatkan bahwa proses penegakan hukum tidak bolehh dilakukann dengan cara mengabaikan hak orang lain.
"Kebebasan organisasi itu masih dijamin oleh negara, tetapi bahwa berorganisasi tidak lantas kemudian karena lebih kuat itu lalu semena-mena melakukan pengerusakan, membatasi, dan menghalangi hak asasi orang lain, itu harus ditegakkan hukumnya," katanya.
"Jadi dalam kacamata Komnas harus dibedakan antara hak secara merdeka dalam berorganisasi dengan kebebasan dalam bertindak. Kalau kebebasan bertindak itu berpotensi pada pelanggaran hak asasi orang lain, maka penegakan hukumnya harus dilakukan," ujarnya.