Kisah Imang Maulana, menggali dan Memakamkan Jenazah yang Tidak Diketahui Identitasnya
Penggali kubur sebenarnya bukanlah pekerjaan yang diinginkannya saat ia berhijrah ke Jakarta dan ini sebagai pilihan terakhir
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sudah hampir 19 tahun Imang Maulana (39) mengabdikan dirinya sebagai penggali kubur dan perawat makam di TPU Pondok Ranggon, Kranggan, Jakarta Timur.
Ia mulai bertugas di TPU tersebut sejak tahun 1999.
Tugasnya adalah menyiapkan liang lahat, membantu memakamkan jenazah jika diperlukan, dan merawat makam-makam.
Tidak terkecuali makam untuk jenazah-jenazah tanpa nama dan tidak punya keluarga yang sering dikenal dengan sebutan Mr dan Mrs X, atau tunawan.
“Menggali makam dan menguburkan mereka yang tunawan termasuk salah satu pengalaman yang berbekas buat saya. Jadi renungan, siapa pun kita suatu saat akan menghadapi kematian. Sekarang kita menggali kubur untuk orang lain, nanti kita pada akhirnya juga akan dikubur,” ujar pria asal Karawang, Jawa Barat tersebut.
Hari itu, Rabu (18/1/2017), Imang baru saja menyelesaikan tugas menggali makam untuk satu jenazah tunawan.
“Biasanya informasinya dari kantor dulu, ada yang daftar. Maksudnya mau dikubur begitu. Informasi ke koordinator lapangan, lalu kita diberi tahu siap-siap untuk bertugas,” ujarnya menceritakan alur kerja yang biasa ia jalani.
Penggali kubur sebenarnya bukanlah pekerjaan yang diinginkannya saat ia berhijrah ke Jakarta.
Ia menyebut pekerjaan ini sebagai pilihan terakhir.
Imang, di kampung halamannya, adalah seorang guru Madrasah Ibtidaiyah. Keputusannya untuk hijrah ke Jakarta didasari oleh keinginan mencari penghidupan yang lebih baik.
Pada mulanya ada rasa takut, syok, dan sedih dengan nasib sendiri yang menjalani pekerjaan sebagai penggali kubur. Namun, pada akhirnya ia mulai bisa menjalani pekerjaan ini dengan penuh syukur.
“Lama-kelamaan enjoy. Saya jalani pekerjaan ini sebagai tausiah pribadi,” katanya.
Saat ini status Imang adalah Petugas Harian Lepas (PHL). Ia menerima gaji bulanan.
Setiap bulan Imang menerima Rp 3,1 juta sesuai Upah Minimum Regional (UMR) melalui rekening Bank DKI miliknya.
Selama 19 tahun, suka duka sudah ia alami selama menjadi penggali kubur di TPU Pondok Ranggon.
Seperti pada saat ia harus membantu penggalian kembali jenazah warga negara Korea Selatan yang menjadi korban pembunuhan untuk diidentifikasi.
Jenazah datang dan sudah terlanjur dimakamkan di TPU Pondok Ranggon dengan status tunawan.
Namun, ternyata ada keluarga yang mencarinya.
“Diangkat, baunya sudah nggak karuan karena sudah membusuk, tapi bisa tuh diidentifikasi, ketahuan itu benar anggota keluarga mereka,” cerita pria berkaca mata yang juga menjadi salah satu penggali kubur makam pelaku teror bom JW Mariott yaitu Ibrohim, Syaifudin Zuhri, dan Ridwan.
Pengalaman mencium aroma jenazah yang tidak sedap juga kerap ia rasakan ketika meratakan tanah makam jenazah tunawan seusai hujan deras mengguyur.
Tanah makam, karena tidak ditanami rumput, biasanya longsor. Tidak jarang longsor menyebabkan permukaan makam kembali terbuka.
“Makam tunawan kan berbeda, hanya satu meter dalamnya. Kalau pas longsor yang sering tercium bau tidak sedap. Makanya kalau patroli terus kita melihat longsor harus segera diratakan lagi. Harapannya sih dikucurkan dana penanaman rumput supaya ada yang menahan tanah agar tidak longsor,” kata ayah tiga anak ini.
Sebagai orang yang sehari-hari melihat kondisi area pemakaman untuk para tunawan Imang berharap perhatian yang lebih besar diberikan oleh pemerintah. Setidaknya untuk perawatan makam. (Kompas.com/Sheila Respati)
Editor
: Sabrina Asril