DPR Galang Hak Angket Jika Presiden tak Mengeluarkan Surat Pemberhentian Sementara Ahok
DPR dapat menggunakan Hak Angket jika Presiden RI tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Almuzzammil Yusuf menegaskan DPR dapat menggunakan Hak Angket jika Presiden RI tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI.
Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1,2, dan 3.
"Setelah menerima kajian kalangan masyarakat, tokoh masyarakat, dan para pakar tentang pengabaian pemberhentian terdakwa BTP dari jabatan Gubernur DKI oleh Presiden, maka DPR RI dapat menggunakan hak angket terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 Ayat 1,2, dan 3," ujar Almuzzammil.
Menurut Master Ilmu Politik UI ini berdasarkan Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 Presiden RI berkewajiban mengeluarkan surat keputusan tentang pemberhentian sementara sampai status hukumnya bersifat tetap bagi gubernur yang berstatus sebagai terdakwa yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
"Sudah cukup bukti dan dasar hukum bagi Presiden untuk memberhentikan sementara BTP dari jabatan Gubernur DKI. Pertama, status BTP sudah terdakwa penistaan agama. Kedua, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun," jelas Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) DPP PKS ini.
Menurut Almuzzammil, seharusnya Presiden tidak diskriminatif dengan memperlakukan kebijakan yang sama sesuai peraturan perundang-undangan.
Hal itu karena pada kasus mantan Gubernur Banten dan mantan Gubernur Sumut yang terkena kasus hukum setelah keluar surat register perkara dari pengadilan, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara.
Jika kebijakan ini tidak dilakukan, tegas Almuzzammil, maka bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Kasus ini sudah mendapat perhatian publik yang luas. Publik bertanya-tanya kenapa dalam kasus BTP, Presiden menunda-nunda, tidak segera mengeluarkan surat pemberhentian sementara padahal cuti kampanyenya segera berakhir dan masa jabatan PLT Gubernur DKI juga segera berakhir," ujar wakil rakyat PKS dari Lampung ini.
Atas persoalan ini, Almuzzammil menegaskan DPR RI memiliki kewenangan sesuai dengan UU MD3 dan Tata Tertib DPR RI untuk melaksanakan fungsi pengawasan dengan menggunakan hak angket DPR.
Wakil Ketua Komisi III DPR ini menerangkan Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Untuk itu, maka fraksi-fraksi di DPR penting menghidupkan hak angket untuk memastikan apakah Pemerintah sudah sejalan dengan amanat undang-undang dan Konstitusi," terang Almuzzammil.
Mengikuti jejak PKS, Partai Demokrat juga akan menggulirkan hak angket. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Syarief Hasan memastikan bahwa partainya sepakat dengan PKS.
Fraksi Demokrat di DPR juga akan bersama-sama PKS menggalang kekuatan menggulirkan hak angket tersebut.
"Fraksi PD juga membuat dan akan bersama Partai PKS dan lainnya untuk menggulirkan hak angket tersebut," ujar mantan Menteri Koperasi dan UKM era Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Sementara itu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memahami wacana hak angket terkait Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang belum dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Meskipun, Ahok telah berstatus terdakwa dalam kasus penistaan agama.
Namun Anggota Komisi II DPR dari PPP Achmad Baidowi mengatakan pihaknya akan mendengarkan terlebih dahulu penjelasan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait hal tersebut.
"Jika yang dilakukan Mendagri tak sesuai UU, maka perlu langkah lanjutan," kata Baidowi.
Baidowi menuturkan Komisi II DPR berencana memanggil Mendagri untuk rapat yang mengagendakan Pilkada serentak.
Wasekjen PPP itu lalu menjelaskan UU 23/2014 jo UU 9/2015 tentang Pemerintah daerah pasal 83.
Ayat (1) kepala daerah/wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana yang diancam paling singkat 5 tahun penjara.
Ayat (2) kepala daerah dimaksud diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
"Maka dari itu, dalam konteks Ahok harus dilihat ancaman pidananya berapa tahun," kata Baidowi.
Baidowi menuturkan didakwa sebagaimana ayat (1) tersebut berarti ketika menjadi terdakwa ataukah juga bermakna ketika jaksa mengajukan tuntutan.
Kemudian ayat (2) disebutkan harus ada register di pengadilan. Apakah dua ketentuan tersebut sudah dialami oleh Ahok?
"Dan mengenai pemberhentian sementara, saya kira pemerintah wajib tunduk pada UU tidak ada tafsir lain," kata Anggota Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu itu.
Baidowi mengungkapkan alasan Mendagri Tjahjo Kumolo mau merujuk pada besaran tuntutan jaksa, belum mendapatkan sandaran dalam UU.
Dipertanyakan
Partai Golkar mempertanyakan wacana hak angket terkait status Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang belum dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Padahal, Ahok sudah berstatus terdakwa.
"Apanya yang harus dipersoalkan?" tanya Wasekjen Golkar Ace Hasan Syadzily.
Anggota DPR itu menilai Menteri Dalam Negeri Tjahjo mempunyai argumentasi hukum yang jelas bahwa dugaan penodaan agama yang ditujukan kepada Ahok tuntutan hukumnya belum jelas disampaikan Jaksa.
"Apakah pasal 56 yang ancaman hukumannya 4 tahun atau pasal 56 (a) yang ancaman hukumannya 5 tahun," kata Anggota DPR itu.
Mendagri Tjahjo Kumolo, kata Ace, telah menyatakan jika Jaksa Penutut Umum dalam kasus Ahok ini sudah tegas tuntutannya, maka akan segera diambil keputusan.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono melakukan serah terima jabatan dengan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat.
Serah terima dilaksanakan di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Sabtu (11/2/2017).
Serah terima dilakukan setelah Ahok dan Djarot Saiful Hidayat menyelesaikan cuti untuk kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017.
Nantinya, Sumarsono akan menyerahkan buku selama masa kepemimpinannya di Jakarta kepada Ahok.
Selain dengan Ahok-Djarot, perpisahan Sumarsono juga dilakukan dengan pejabat di pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Dalam pidatonya, Sumarsono mengatakan, dirinya sudah menjaga netralitas PNS DKI terkait Pilkada Jakarta. (fer/mal/kps/wly)