Pandangan Pengamat dan YLKI soal Integrasi Transaksi Tol Jakarta-Tangerang-Merak
kebijakan integrasi transaksi tol Jakarta-Tangerang dengan Tangerang-Merak seharusnya justru bisa mengurangi antrean kendaraan
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno mengatakan kebijakan integrasi transaksi tol Jakarta-Tangerang dengan Tangerang-Merak seharusnya justru bisa mengurangi antrean kendaraan di gerbang tol Karang Tengah.
"Sebelum dilakukan integrasi transaksi, khususnya di gerbang tol Karang Tengah diwarnai kemacetan baik dari arah Jakarta maupun Tangerang terutama saat jam sibuk, namun dengan adanya integrasi sistem transaksi tol Karang Tengah lancar," kata Djoko saat dihubungi, Selasa (11/4/2017).
Kalaupun dalam integrasi transaksi tol Jakarta-Merak ini masih terjadi antrean di gerbang transaksi. Karena itu Djoko menilai. perlu adanya penambahan kapasitas gerbang transaksi.
Penambahan gerbang tol transaksi juga dapat dilakukan berkerja sama dengan pemerintah daerah maupun pengembang. Pada pelaksanaannya lahan pemerintah harus dipakai.
"Karena tujuannya agar lalu lintas tetap lancar," jelas Djoko.
Djoko mengatakan dengan perubahan sistem pembayaran dari sistem tertutup menjadi terbuka di ruas Tangerang-Cikupa membawa konsekuensi terjadi antrean di gerbang tol yang ada transaksinya.
"Sehingga kapasitas harus ditingkatkan diantaranya dengan sistem transaksi elektronik," papar Djoko.
Kemudian bagi pengguna jalan yang menempuh rute dekat disarankan tidak lagi menggunakan jalan tol untuk menghindarkan antrean."Karena dalam sistem ini jauh dekat akan dihitung sama Rp 7.000," kata Djoko.
Sementara itu, kenaikan tarif tol Jakarta-Tangerang-Merak menuai kecaman publik.
Kenaikan tarif tersebut merupakan dampak dari integrasi operasi, dan transaksi Jalan Tol Jakarta-Tangerang-Merak yang telah diberlakukan sejak Minggu (9/4/2017).
Kini, tarif baru yang diberlakukan secara datar atau flat bagi pengendara jarak jauh maupun dekat adalah Rp 7.000 untuk kendaraan Golongan I, Rp 9.500 untuk kendaraan Golongan II, Rp 12.000 untuk Golongan III, Rp 16.000 untuk Golongan IV, dan Rp 20.000 untuk Golongan V.
Namun, menurut Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, kenaikan tarif tol tidak bisa semata-mata dilakukan atas dasar integrasi sistem transaksi dan operasi.
Jika itu dilakukan maka dapat dikatakan melanggar regulasi yang telah ada. Menurut regulasinya, kenaikan tarif tol adalah per dua tahun.
"Kalau ada kenaikan sebelum waktu itu tidak boleh karena Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) menyebutkan kenaikan tarif tol itu dua tahun sekali," tutur Tulus kepada KompasProperti, Senin (10/4/2017).
Regulasi dimaksud adalah Pasal 48 ayat 3 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Tol dan Pasal 68 ayat 1 PP nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol.
Kenaikan tarif tol juga dilakukan jika ada inflasi yang mencapai persentase tertentu dan faktor berikutnya adalah memenuhi syarat pelayanan minimum (SPM).
"Harusnya kenaikan itu dasar argumentasinya adalah ruas tol itu mampu menjawab kebutuhan atau menjawab SPM yang kompenonennya ada 8 yang telah diatur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)," imbuh dia.
Delapan indikator SPM yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 16 Tahun 2014 adalah kondisi jalan, kecepatan tempuh rata-rata, dan aksesibilitas.
Kemudian mobilitas, keselamatan, unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan, kebersihan lingkungan, serta kelayakan tempat istirahat dan pelayanan.
"Jadi, kalau indikator-indikator SPM itu tdk bisa dipenuhi maka nggak bisa itu namanya menaikkan tarif jalan tol," pungkas Tulus.