Djarot Saiful Terseret-seret Kasus Reklamasi
BPRD DKI hanya menetapkan NJOP pulau C dan D sebesar Rp 3,1 juta per meter sebelum Lebaran 2017 lalu.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Theo Yonathan Simon Laturiuw
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Dugaan koruptif kebijakan besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di Pulau Reklamasi C dan D Teluk Jakarta bakal menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saeful Hidayat.
Koruptif kebijakan itu merupakan penetapan NJOP oleh Badan Pajak dan Retribusi DKI Jakarta (BPRD DKI) yang jauh dari angka semestinya.
BPRD DKI hanya menetapkan NJOP pulau C dan D sebesar Rp 3,1 juta per meter sebelum Lebaran 2017 lalu.
Baca: Anak Buah John Kei Tewas Saat Menyerang Napi Terorisme
Baca: Tanda-tanda Apa? Ribuan Ikan Aneh Ini Tiba-tiba Muncul di Sungai Soga
Hal itu jadi mencurigakan karena pada simulasi yang dibuat DPRD DKI bersama eksekutif pada Januari 2016, NJOP justru ditulis Rp 10 juta permeter.
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, mengatakan makanya Polda Metro Jaya jangan hanya memanggil pejabat dan DPRD DKI saja.
"Jangan lupakan Djarot. Dia juga harus dimintai keterangan. Dugaan koruptif kebijakan tersebut atas persetujuan Djarot sebagai orang nomor satu di Pemprov DKI ketika itu," kata Uchok ketika dihubungi wartawan, Rabu (8/11/2017).
’’Kalau Polda tak berani panggil, lebih baik kasusnya kembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya yakin Pak Djarot mengetahui,’’ tegas Uchok.
Apalagi, kata mantan aktivis PMII itu, Djarot mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 137 Tahun 2017, tentang Panduan Rancang Kota Pulau G Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta sebelum lengser.
’’Ini bukti. Jadi, jangan hanya panggil pejabat dan DPRD DKI saja,’’ ucap Uchok.
’’Saya juga menilai aneh. Kok polisi cepat sekali salip KPK. Makanya, Polda harus buktikan bisa usut sampai atas,’’ tambah Uchok.
Uchok menerangkan, indikasi Pergub 137 bermasalah antara lain karena dikeluarkan sebelum Perda Tata Ruang Zonasi disahkan.
Selain itu ada juga kaitannya dengan perbedaan hasil pembahasan dan penetapan NJOP dari Rp 10 juta menjadi hanya Rp 3,1 juta.
’’Jelas ada indikasi permainan,’’ tandas Uchok.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Muhamad Taufik menilai, mekanisme penghitungan kantor jasa penilai publik (KJPP) yang digandeng BPRD DKI juga harus diperiksa karena merugikan pemprov.
Menurut dia, tidak ada NJOP semakin lama harganya turun.
’’Ngaco itu menghitungnya. Memang kalau rumah kita lagi disegel terus NJOP-nya turun. Kan tidak,’’ tegas Taufik kepada Wartakotalive.com, beberapa waktu lalu.
Menurut Taufik, teori penghitungan NJOP itu ada dua cara. Pertama dengan menghitungnya berdasar perolehan tanah tersebut.
Misalnya, pulau reklamasi berapa besar dana yang diperlukan untuk membuat pulau reklamasi itu.
’’Dari situ juga bisa ditentukan NJOP,’’ jelas Taufik.
Kedua, kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra DKI menghitung NJOP berpatokan dari NJOP di wilayah sekitar pulau tersebut.
’’Jadi dari tanah-tanah yang di sekitar situ ditentukannya,’’ ungkap Taufik.
Nah, penghitungan yang dilakukan KJPP jelas ngawur dan polisi harus juga memeriksanya.
‘’’Harga normal NJOP di pulau C dan D seharusnya berkisar antara Rp 20 - 25 juta per meter,’’ terang Taufik.
Dia menegaskan, penghitungan ngawur tersebut membuat negara merugi terkait pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
’’Iya dong BPHTB dibayar Rp 400 milliar, akibat NJOP Rp 3,1 juta. Seharusnya lebih dari itu,’’ tandas Taufik. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)