Cerita Nenek Berumur 101 Tahun Hidup Sebatangkara, Jual Kopi di Pasar, Banyak Pelanggan Tak Bayar
Sekitar tiga puluh tahun lalu ia memberanikan seorang diri datang ke Jakarta untuk mengadu nasib.
Editor: Hasanudin Aco
"Waktu pertama datang saya enggak duduk disini, ditaruh dulu di sana (PSBI) kira-kira orang sepuluh. Enam cuma tidur enggak bisa apa-apa, dan yang masih punya tenaga orang empat," sambungnya.
Ia mengingat bahwa dalam waktu dekat ada rencana bangunan rumahnya akan digusur dan ia akan mendapat penggantian sebesar Rp 2.000.000.
Namun sayangnya sebelum semua terlaksana, ia sudah dibawa ke PSTW.
Ketika ditanya bagaimana rasanya tinggal di PSTW, ia pun menjawab, "Dikata enak ya enak, dikata enggak enak ya bagaimana orang udah terlanjur disini," ucapnya.
Pertama datang ia sempat menangis karena ingat rumah dan tetangganya, lalu petugas memberikan pengertian secara baik sehingga Nek Tin mengerti tujuan baik dari petugas.
"Saya mau pulang tapi udah keder jalannya. Walaupun di sini temennya banyak, di rumah tetangga saya lebih banyak. Baik-baik, suka nolong. Suka tanya ada minyak apa enggak, ada makanan apa enggak. Nanti mereka yang belikan," ucapnya lirih.
Ia mengatakan rindu dengan radio kesayangannya yang tertinggal di rumah.
Karena ia tinggal sendiri, hanya radio itu yang setiap hari menemaninya.
"Saya sudah sebatangkara, anak enggak punya, saudara enggak punya, orangtua juga enggak punya. Saya cuma punya radio kecil yang setiap hari nemenin saya dirumah," katanya.
Nek Tin juga bercerita bisa membuat batik, menenun, menjahit pakai mesin bahkan menari tradisional.
"Saya juga masih bisa joget, namanya tari jowo, lagunya juga lagu jowo," ucap Nek Tin sambil tertawa.
Dengan gesit dan penuh semangat, Nek Tin memperagakan tarian yang ia kuasai.
Kini Nek Tin akan menetap dan dirawat oleh PSTW Budi Mulia 1 serta diberi kegiatan seperti senam, merajut, bernyanyi bahkan berjoget agar tidak jenuh dan depresi. (M16)
Penulis: Anggie Lianda Putri