Anies Wacanakan Hidupkan Becak di Jakarta, Pengamat: Itu Kemunduran
Larangan operasional becak di ibu kota pun sudah diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk membuat rute khusus becak di Jakarta dianggap sebagai suatu kemunduran di tengah perkembangan teknologi yang membuat transportasi berbasis aplikasi online menjamur.
Larangan operasional becak di ibu kota pun sudah diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
"Mengembalikan becak ke jalan raya itu kemunduran jauh, kalau kebijakan itu diambil, tidak selaras dengan semangat mendorong orang beralih ke transportasi massal," kata pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga saat dihubungi, Senin (15/1).
Dia berpendapat becak masih bisa hadir di Jakarta selama bukan untuk alat transportasi, tetapi khusus untuk di tempat wisata seperti Kota Tua, Monas, Ancol atau TMII.
"Di Jerman dan Inggris masih ada lokasi wisata seperti Kota Tua dan Monas, (becak) hanya untuk wisata di dalam," kata dia.
Sebagai contoh, becak di Jerman bernama Velotaxi. Bentuknya futuristik, mirip seperti mobil kecil namun mengandalkan tenaga genjotan kaki.
Pengendaranya juga anak-anak muda, berbeda dengan kesan tukang becak di Indonesia yang identik dengan orang tua.
Bila dilihat sebagai moda transportasi, ada banyak pertimbangan yang membuat becak tidak cocok di ibu kota.
Ditilik dari segi lebar jalan di Jakarta yang sudah dipadati kendaraan, rute khusus becak dirasa tidak memungkinkan. Bila dipaksakan, jalan jadi semakin terasa sempit.
"Untuk kondisi sekarang jalan saja tidak cukup, terbukti orang jalan kaki saja susah, sepeda saja sekarang berjibaku (dengan motor dan mobil)," ujar dia.
Dari sisi manusiawi, membiarkan becak kembali beroperasi di Jakarta juga bukan pilihan tepat.
Udara Jakarta yang sudah tercemar polusi bukanlah lingkungan yang sehat untuk pengemudi becak.
Apalagi biasanya pengemudi becak adalah orang-orang yang sudah berumur.
"Pasti sudah sepuh-sepuh, sudah tidak manusiawi (kalau disuruh mengendarai becak). Susah menemukan orang usia 25-30 tahun yang mau jadi tukang becak, mereka pasti lebih memilih ngojek, itu kalau bicara soal produktivitas," papar dia.
Peran becak yang dulu jadi transportasi dari pintu ke pintu, penumpang dijemput dari rumah dan diantar langsung ke tujuan, kini tergantikan oleh ojek berbasis aplikasi online.
Becak dinilai akan sulit bersaing dari segi kecepatan, tarif dan kepraktisan. Apalagi ojek berbasis aplikasi online pun berlomba-lomba mematok tarif terjangkau.
Kalau wacana itu mengemuka demi memperluas lapangan kerja, dia menyarankan untuk mengarahkan sumber daya manusia ke area transportasi massal.
"Jadi driver, operator, dimanfaatkan tenaganya sesuai kebutuhan zaman."
Baca: Kronologis Kantor PLN Area Tanjungpriok Diamuk Si Jago Merah
Ketimbang mengembalikan becak di Jakarta, sebaiknya pemerintah DKI fokus membenahi transportasi massal agar terintegrasi untuk membuat warga mau beralih ke angkutan umum.
Salah satunya adalah memperluas kampanye One Karcis One Trip (OK-OTrip).
Dalam OK-Otrip, pelanggan cukup membayar maksimal Rp5.000 untuk satu tujuan perjalanan, sekalipun dengan bergonta-ganti moda dari angkutan kota, kopaja, dan Transjakarta.