Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Yudi Latief: Generasi Muda Menuju Masyarakat Pancasila

Tutur katanya santun namun tegas dan mudah dimengerti. Setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya tertata rapi sekaligus memiliki daya magis

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Yudi Latief: Generasi Muda Menuju Masyarakat Pancasila
ist
Yudi Latief 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tutur katanya santun namun tegas dan mudah dimengerti. Setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya tertata rapi sekaligus memiliki daya magis dan mengandung makna mendalam.

Apalagi jika bicara soal ideologi bangsa, Pancasila. Nyaris tak ada detail yang terlewat.

Dalam kegiatan lanjutan di hari kedua Sekolah Pemimpin Muda Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP) angkatan 7, Yudi Latief, Ph.D didapuk menjadi pembicara dengan tajuk "Kaum Muda dan Strategi Kebudayaan Dalam Memperkuat Etos Kebangsaan Menuju Masyarakat Pancasila”.

Pesan Yudi Latief kepada peserta KBFP 7 yaitu menjalankan Pancasila bukanlah sekadar menunaikan kepentingan negara.

Jika anak muda menjalankan, memahami dan melaksanakan Pancasila, maka mereka sedang menumbuhkembangkan prestasinya.

Hasil dari prestasinya itulah yang dinikmati oleh lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dikatakan Yudi dijaga oleh banyak warna dan diperjuangkan oleh banyak warna pula.

Berita Rekomendasi

Ketimbang antarwarna menegasikan satu sama lain, alangkah lebih baik bila semua warna ini saling berpadu menghadirkan pemandangan yang luar biasa.

Seperti itulah makna dari slogan Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman harus menemukan titik temunya, sehingga bisa berinteraksi di ruang publik.

“Di dalam cara kita menyusun kerangka pengetahuan apa yang disebut dengan epistimologi. Maksudnya apa? Karena Indonesia ini sebagai miniatur global, di mana segala keragaman ada, barangkali Indonesia adalah negara yang besar, kata Bung Karno di mana Taman Sari Dunia segala keragaman itu hadir dan itu dicerminkan di dalam lima sila Pancasila. Jadi ada lima sila Pancasila itu merangkum seluruh kemungkinan diversity-nya global,” jelas Yudi Latief di Diskusi Kopi dan Ruang Berbagi, Jalan Halimun Raya no 11, Jakarta Pusat, baru-baru ini.

Untuk diketahui, para peserta KBFP angkatan 7 yang berjumlah 50 orang ini sangat beragam. Sebut saja ada dosen Universitas Malikussaleh asal Aceh, Yusri Kasim (31); Wali Kota Tanjung Balai Sumatera Utara, M Syahrizal (29); politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Yolanda Ryan Armindya (26); dan staf humas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Edrida Pulungan (35). 

Kemudian juga ada Ketua KONI kota Bogor, M Beninnu Argoebie (35); pengusaha muda sekaligus peneliti yang fokus terhadap isu agama dan Timur Tengah, Nur Fadlan (31); Anggota DPRD Jawa Tengah periode 2014-2019, Abdul Hamid (34); sekretaris umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Denpasar, Ni Kadek Novi Febriani (25); aktivis lingkungan dan HAM asal Maluku, Izack Knyairlay (26); pegiat isu hukum dan advokat Hak Asasi Manusia di Papua, Welis Doga (32), dan masih banyak lagi.


Kagum KBFP

Yudi Latief pun begitu kagum dengan kebhinekaan para peserta KBFP 7, yang menurut ia, begitu beragam serta pluralisme. Di tempat yang sama, Yudi memberikan gambaran tentang makna dari ke-5 sila Pancasila itu kepada peserta KBFP 7.

Misalnya, pada sila pertama yang menyiratkan bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan multi agama. Sesuai pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Selanjutnya dalam sila kedua yang mensiratkan kemajemukan masyarakat berdasarkan ras manusia. Sedangkan, di sila ketiga menggambarkan bangsa ini sebagai bangsa yang beragam, tapi pada saat yang sama menyadari akan adanya tautan-tautan persatuan.

Sementara itu, penjelasan terkait sila keempat, yakni mengenai keberagaman partai dan aliran partai politik. Dan, sila kelima yang menggambarkan kemajemukan dari segi lapisan kelas sosial.

Selanjutnya, menurut Yudi Latief, dalam hal membumikan Pancasila di dalam kehidupan anak muda, pertama-tama penting untuk memahami lima isu strategis. Di antaranya, Pemahaman Pancasila, Inklusi Sosial, Keadilan Sosial, Pelembagaan Pancasila, dan Keteladanan Pancasila.

“Sila pertama  adalah keragaman agama dan keyakinan. Sila kedua mendeklarasikan kita ini beragam dari ras manusia. Indonesia ini ras papua milanesia yang paling tua, jadi kalau ada yang bilang pribumi paling pribumi Indonesia itu sebenarnya adalah orang Papua Milanesia,” tuturnya.

“Banyak keturanan-keturunan Eropa di kita mulai di pelabuhan-pelabuhan transit serta tempat perkebunan. Kita juga boleh dibilang negara dengan mozaik warna kulit yang paling lengkap. Mulai yang paling hitam di timur, agak light di Maluku, sawo mateng kita punya, kulit kuning kita punya seperti Nias, bagian Dayak kulit  merah, Mentawai kulit putih, juga ada jadi lengkap,” urai.

Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) ini kembali menjelaskan, pendidikan Pancasila bisa disampaikan melalui jalur pendidikan. Ia menggarisbawahi materi pengajaran dan penyampaian Pancasila harus diperbaiki.

Tak hanya itu, guru-guru dan dosen juga harus dilatih dengan tujuan agar dapat menjabarkan Pancasila dengan menyesuaikan perkembangan peserta didik. Selain itu, konten dan metode harus disesuaikan dengan perkembangan anak didik.

“Pendidikan itu belajar menjadi manusia dengan belajar dari kehidupan sepanjang hidup. Jadi kita belajar masuk sekolah untuk belajar jadi manusia yang benar bukan belajar untuk semata-mata ayo matematika. Yang utama belajar menjadi manusia yang benar. Nah, untuk belajar menjadi manusia yang benar itu fundamen-fundemen kemanusiaan budi pekerti itu harus bener dulu,” ujarnya.

“Orang Australia bilang kami nggak cemas kalau hasil test matematika anak-anak tidak mengembirakan, karena kalau itu gampang tinggal panggil satu guru les privat dalam sebulan bisa langsung pinter. Yang kami takut itu kalau anak-anak kemudian tidak bisa antri. Lalu, anak-anak tidak bisa menghargai karena mengubah itu tidak bisa just over night itu bisa lama sekali. Makanya kita paham kenapa di Jepang tiga tahun pertama sekolah dasar tidak diajarin apa-apa kecuali budi pekerti karena yang lain-lainnya mudah,” paparnya.

“Kalau yang fundamen itu fundamen baik buruk mana yang patut mana yang tidak patut mengambil yang berhak atau tidak berhak. Kalau itu sudah selesai kemudian dimulai dengan reading habbit. Apalagi sekarang kita dihadapi pada satu kenyataan Indonesia itu kan penggunaan sosial media paling intens tapi minat bacanya paling rendah,” tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas