Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

65 Unit Mobil, 87 Unit Properti Milik First Travel Sudah Disita, Bagaimana Nasib Korban?

Pengadilan Negeri Depok tak hanya memberi hukuman berat bagi ketiga bos PT First Anugerah Karya Wisata alias First Travel

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in 65 Unit Mobil, 87 Unit Properti Milik First Travel Sudah Disita, Bagaimana Nasib Korban?
Warta Kota/adhy kelana
Terdakwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan biro perjalanan umrah First Travel, Direktur Utama Andika Surachman dan Direktur Anniesa Hasibuan menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Rabu (30/5/2018). Andika Surachman divonis 20 tahun penjara dan Anniesa Hasibuan divonis 18 tahun penjara dengan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan kurungan. Warta Kota/adhy kelana 

TRIBUNNEWS.COM, DEPOK -- Pengadilan Negeri Depok tak hanya memberi hukuman berat bagi ketiga bos PT First Anugerah Karya Wisata alias First Travel.

Aset-aset yang disita oleh Kejaksaan atas kasus ini akhirnya diputuskan dirampas menjadi milik negara, pun hasilnya akan masuk kas negara.

Konteks macam ini sejatinya bukan pertama kali, sebab dalam kasus kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Mandiri Pandawa Grup hal serupa juga terjadi, dimana aset-aset Pandawa dan bosnya, Nuryanto juga dirampas negara.

Sayangnya, keputusan untuk merampas aset-aset tersebut sebenarnya turut menghambat proses perdata niaga yang tengah dijalani baik First Travel maupun Pandawa.

Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) First Travel baru rampung dimana diputuskan berdamai atawa homologasi, sementara Pandawa kini tengah mengalami proses kepailitan.

Keduanya merupakan proses perdata niaga.

Untuk First Travel, perkara pidana yang menjerat ketiga bosnya terdaftar di Pengadilan Negeri Depok dengan nomor perkara 83/Pid.B/2018/PN.Dpk untuk terdakwa Andika Surachman dan Annisa Hasibuan, dan 83/Pid.B/2018/PN.Dpk untuk terdakwa Kiki Hasibuan.

Berita Rekomendasi

Sementara perkara niaganya terdaftar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 105/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN Jkt.Pst.

Sementara kasus Pandawa perkara pidananya terdaftar di Pengadilan Negeri Depok dengan nomor 424/Pid.Sus/2017/PN.Dpk hingga 429/Pid.Sus/2017/PN.Dpk. sementara perkara niaganya merupakan hasil dari pembatalan homologasi dari perkara 37/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN Jkt.Pst.

Salah satu pengurus PKPU First Travel Sexio Noor Sidqi menyatakan, diperlukan sinkronisasi atas dua jenis perkara ini.

"Perlu dicari titik temunya kalau memang ketentuan hukum acara atau material belum ketemu. Perlu ada pembicaraan, setidaknya para stakeholder, penegak hukum, polisi, kejaksaan, kurator, pengadilan, kemkumham," jelasnya kepada KONTAN pekan lalu.

Sexio menambahkan, tanpa koordinasi, para kreditur tak akan menerima apapun. Pun ia menilai adanya keterdesakan atas sinkronisasi atas dua perkara ini, lantaran dasar perampasan aset yang kerap menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

"TPPU memang banyak di kasus korupsi, tapi ternyata bukan cuma itu, ada investasi, pengumpulan dana masyarakat dan lainnya. Kalau begini kan tidak ada kerugian yang diderita negara. Jadi jika aset dirampas yang paling rugi adalah kreditur," jelasnya.

Perampasan aset First Travel sendiri berasal dari sekitar 820 barang bukti yang dikumpulkan penyidik. Sementara yang dirampas ada sekitar 529 barang bukti, mislamya berupa rumah mewah, apartemen, kantor, mobil, gaun mewah, rekening. Yang nilainya ditaksir sekitar Rp 25 miliar.

Sementara secara total dalam proses PKPU ada 63.000 jemaah yang terdaftar dengan nilai tagihan mencapai Rp 1,1 triliun.

Masalah lebih pelik, justru dialami dalam kasus Pandawa. Sebab perampasan aset justru bertentangan dengan proses kapailitan yang tengah dialaminya. Sebab melalui UU Kepailitan dan PKPU, kurator yang berhak membereskan aset.

Kejaksaan Negeri Depok sendiri telah merampas 65 unit mobil, 28 unit motor, 87 unit properti berbentuk lahan, rumah, apartemen, sertifikat-sertifkat, hingga akta jual beli, 65 unit barang elektronik, 23 buah perhiasan dan logam mulia, uang senilai Rp 1,39 miliar, RM 3.050, SGD 1.550, SAR 877, ditambah dua polis asuransi.

"Baru ada tujuh aset berupa bangunan, lahan yang cuma 90 meter persegi yang diamankan tim kurator, di luar yang disita negara. Nilainya saya lupa tapi jelas sangat jauh dengan tagihan Pandawa senilai Rp 3,3 triliun," kata salah satu kurator kepailitan Pandawa Muhammad Denni kepada KONTAN beberapa waktu lalu.

Atas dasar ini pula, Kurator Kepailitan Pandawa sebelumnya telah melayangkan gugatan agar aset dapat dibereskan kurator. Gugatan terdaftar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 11/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2018/PN.Niaga Jkt.Pst pada 11 April lalu, dan kini telah memasuki persidangan dengan agenda duplik dari tergugat.

Sayangnya dalam berkas duplik yang didapatkan KONTAN, Kejaksaan Negeri Depok membatantah gugatan tersebut alasannya, aset-aset yang disita tak bisa ditetapkan sebagai budel pailit.

"Dalam positanya, penggugat menyatakan bahwa gugatan berkaitan dengan harta pailit KSP Pandawa Mandiri Group (dalam pailit) dan Nuryanto (dalam pailit), padahal nyata-nyata baru dalam petitumnya penggugat meminta agar barang a quo ditetapkan sebagai harta pailit (budel pailit), sehingga jelas barang-barang a quo tidak termasuk dalam budel pailit," tulis Kejaksaan Negeri Depok.(*)

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas