Pengemudi Ojek Online: Pemerintah Seharusnya Mendukung Keberadaan Ojek Online
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum.
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Firmansyah
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum.
Putusan ini diambil oleh MK terhadap uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh para pengemudi ojek online.
Adeng salah satu pengemudi ojek online mengaku jika kendaraan roda dua belum termasuk dalam kategori aman, tetapi menurutnya ojek online merupakan angkutan yang telah mengikuti perkembangan zaman.
"Menurut saya moda angkutan umum roda dua atau ojek online adalah angkutan yang sudah mengikuti kemajuan teknologi dan sangat mudah dimanfaatkan untuk masyarakat dalam aktifitas pun mobilitasnya, lebih aman dan nyaman," ujar Adeng, Jumat (29/6/2018).
Baca: Mahkamah Konstitusi Menolak Akui Ojek Online sebagai Angkutan Umum
Dalam menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi, Adeng mengatakan pemerintah harus mendukung keberadaan ojek online yang saat ini mampu mengurangi tingkat pengangguran.
"Seharusnya pemerintah mendukung keberadaan ojek online yang sangat membantu mengurangi tingkat pengangguran yang sangat tinggi di Indonesia juga sangat membantu masyarakat dalam aktifitasnya," katanya.
Sebagai pengemudi ojek online dirinya tidak setuju dengan keputusan MK.
Menurutnya pengemudi yang hanya berstatus mitra tidak ada payung hukum yang melindungi.
"Pemerintah mesti adil dan mendukung kesejahteraan untuk orang banyak," katanya.
Sebelumnya, 54 orang pengemudi ojek online yang menggugat Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Para pengemudi ojek online keberatan karena ketentuan pasal tersebut tidak mengatur motor sebagai angkutan umum.
Namun, MK menolak permohonan pemohon karena menganggap sepeda motor bukan kendaraan yang aman untuk angkutan umum.