Pengamat Usulkan Besaran Tarif Ideal Ojek Online Rp 2.000/Km
Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan segala aspek sebelum menentukan besaran tarif yang nantinya diberlakukan untuk angkutan khusus ini.
Penulis: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perhubungan resmi menerbitkan peraturan menteri seputar ojek online yang di dalamnya turut mengatur besaran tarif.
Pengamat Ekonomi Digital Fitra Faisal angkat bicara seputar tarik-menarik besaran tarif ojek online.
Dia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan segala aspek sebelum menentukan besaran tarif yang nantinya diberlakukan untuk angkutan khusus ini.
“Pemerintah harus paham bahwa bisnis digital ini melibatkan keseluruhan aktor dalam ekosistem, sehingga ketika satu variabel dalam ekosistem ini terganggu maka efeknya langsung terasa pada keseluruhan ekosistem,” katanya.
Berangkat dari studi Research Institute of Socio Economic Development (RISED), sambung Fithra, sekitar 71 persen konsumen hanya mampu mentoleransi kenaikan pengeluaran kurang dari Rp 5.000.
Artinya, tegas dia, jika melihat faktor willingness to pay dari berbagai sumber riset yang tersedia maka kenaikan yang ditoleransi hanya membuat konsumen mengeluarkan tambahan uang kurang Rp 5.000.
"Dengan jarak tempuh rata-rata konsumen sebesar 8,8 km per hari, berarti kenaikan tarif yang ideal adalah maksimal 600 rupiah per kilometer atau maksimal naik menjadi Rp 2.000,” terang Fithra.
Baca: Driver Ojek Online Tuntut Tarif Rp 3 Ribu/KM, Begini Respons Gojek
Lagi pula, lanjut dia, saat ini para aplikator telah mengaplikasikan dynamic pricing yang berdasar big data.
maksudnya adalah tarif sebenarnya bisa menyesuaikan secara dinamis dan fleksibel tergantung pada waktu, tempat, dan tinggi rendahnya permintaan dan penawaran yang tersedia.
Maka itu Fithra mengusulkan agar pemerintah lebih memanfaatkan riset yang akurat dalam menyusun kebijakan terkait ekonomi digital.
“Disrupsi digital yang merupakan salah satu tantangan terbesar perekonomian, bisa diberdayakan untuk melakukan sebuah lompatan kuantum untuk membentuk kemakmuran berlipat di masa depan,” terang dia.
“Ke depan perdebatannya bukan apakah harus atau tidak industri ini diatur, namun bagaimana pengaturan yang paling tepat untuk diberlakukan agar teknologi membawa manfaat secara optimal kepada Indonesia,” tutup Fithra.