Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jadikan Bulan Ramadan Sebagai Penyejuk untuk Mendamaikan Satu Sama Lain kata Prof KH Nasaruddin Umar

Prof KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D, menghimbau kepada masyarakat Tanah Air khususnya umat muslim harus bisa memaknai bulan Ramadan ini

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Jadikan Bulan Ramadan Sebagai Penyejuk untuk Mendamaikan Satu Sama Lain kata Prof KH Nasaruddin Umar
ist
Nasaruddin Umar 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hari sebelum hadirnya bulan Ramadan ini, bangsa Indonesia telah melakukan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) dengan agenda Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).

Dimana sebelum Pemilu itu ada proses kampanye yang sangat panjang dan menyita perhatian publik sehingga masyarakat Indonesia seperti dibuat terkotak-kotak karena adanya fitnah, penyebaran berita bohong (hoax) dan sebagainya.

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D, menghimbau kepada masyarakat Tanah Air khususnya umat muslim harus bisa memaknai bulan Ramadan ini  sebagai momentum terbaik untuk mempererat tali persaudaraan, perdamaian dan saling memaafkan.

Hal ini dikarenakan bulan Ramadan kali ini bagi bangsa Indonesia ini betul-betul sangat rahmat. Karena Ramadan hadir di waktu yang tepat dan sangat timely.

“Dimana saat sebelum Pemilu kemarin tentunya kita pernah dilukai hati kita oleh orang lain, mungkin kita pernah dikecewakan oleh orang lain. Dan bahkan kita mungkin juga pernah mengecewakan atau melukai hati orang lain. Nah di bulan suci Ramadan ini kita dianjurkan untuk saling memaafkan untuk mempererat tali persaudaraan dan perdamaian,” papar Prof KH. Nasaruddin Umar, Jumat (10/5/2019).

Lebih lanjut mantan Wakil Menteri Agama Ri ini berharap agar dengan adanya bulan Ramadan ini, kita semua dapat mendinginkan situasi yang diibaratkan PanasSetahun Dihapuskan oleh Hujan Sehari.

Untuk itu dirinya mengimbau kepada umat Islam pada khusunya, untuk  menjadikan bulan suci Ramadan ini sebagai bulan penyejuk, bulan pendingin dan bulan untuk mendamaikan satu sama lain di antara kita.

Berita Rekomendasi

“Sehingga diharapkan nantinya begitu kita keluar dari bulan suci Ramadan ini seperti sudah tidak pernah ada apa-apa. Jadi kita tidak ada lagi semacam dendam, tidak ada lagi kekecewaan yang muncul, sehingga ringan beban kita dan termaafkan oleh Allah SWT secara vertikal, dan ringan juga beban kita karena kita sudah saling memaafkan secara horizontal,” jelas pria kelahiran Bone, 23 Juni 1959 ini.

Dengan demikian menurut Prof. Nasaruddin, jika kita bisa saling memaafkan maka  bulan Ramadan ini akan melunasi kita semuanya, membereskan kita semuanya dan melicinkan segalanya. 

Hal ini agar kita semua kedepannya agar lebih fokus untuk membangun negeri inidi masa depan, agar bangsa ini juga bisa bersaing dengan negara-negara yang sudah maju lainnya.

“Dan kalau perlu kita bisa melebihi negara-negara lainnya itu. Karena kita ini kan berobsesi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur yakni negeri yang sangat indah dan  penuh dengan pengampunan Tuhan,” ujar pria yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.  

Menurutnya, dengan adanya Pemilu kemarin itu dirinya meminta kepada segenap warga masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa kita semua harus bisa bersyukur dan belajar di sebuah pengalaman yang sangat bagus dalam demokrasi di Indonesia ini.  Dimana dirinya memberikan contoh  sejatinya banyak sekali orang oranglain seperti masyarakat Timur Tengah yang negara-negaranya mayoritas muslim ingin seperti Indonesia.

“Dimana mereka ingin juga untuk menentukan pimpinannya sendiri, tapi apa boleh buat hal itu tidak bisa terjadi. Karena di negara mereka (kawasan Timur Tengah) pimpinannya itu ditentukan nasibnya oleh segelintir orang yang berdarah ‘biru’, dimana meraka ini adalah  negara Kerajaan. Jangan mimpi bisa menjadiKepala Negara kalau tidak ada turunan darah ‘biru’ nya,” kata pria yang juga Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) ini.

Hal ini menurutnya sangat berbeda jauh dengan di Indonesia, dimana setiap warga negara itu bisa dan punya hak untuk menjadi Kepala Negara sekalipun. Sementara kalau di negara-negara Kerajaan tentunya tidak mungkin bisa seperti Indonesia.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas