Wanita Bawa Anjing Masuk Masjid Ditahan di Sel Mapolres Bogor
"Tidak ada perlakuan khusus, tapi kalau dia sakit tetap harus diberikan haknya sebagai tersangka," katanya
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SM telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugan penodaan agama lantaran perbuatannya membawa anjing masuk ke dalam masjid di Kabupaten Bogor.
Meski dinyatakan mengidap gangguan jiwa, SM tetap ditahan di sel tahanan Mapolres Bogor.
Baca: Pasal Penodaan Agama dalam Kasus Wanita Bawa Anjing Masuk Masjid Dinilai Bermasalah
Direskrimum Polda Jawa Barat Kombes Iksantyo Bagus mengatakan tak ada perlakuan khusus terhadap SM atau tetap ditempatkan bersama tersangka kasus pidana lainnya.
"Tidak ada perlakuan khusus, tapi kalau dia sakit tetap harus diberikan haknya sebagai tersangka, kalau dia sakit dari dokter dia harus dirawat ya harus dirawat," kata Bagus di RS Polri Kramat Jati, Rabu (3/7/2019).
Bagus menuturkan penyidik Satreskrim Polres Bogor menetapkan SM jadi tersangka berdasarkan empat alat bukti yang telah dikumpulkan.
Sementara hasil observasi kejiwaan atau Visum et Repertum Psikiatrikum akan dimasukkan dalam berkas perkara untuk diperiksa jaksa peneliti berkas Kejaksaan Negeri Bogor.
Ketiga rumah sakit tersebut adalah RS Marzoeki Mahdi, RS Siloam Bogor, dan RS Priemer Bintaro.
"Sudah kita tentukan proses lidiknya tetap, penegakan hukumnya tetap. Hasil rekam media dari tim dokter dan lainnya proses hukumnya tetap. Kita masukkan ke dalam jaksa kemudian nanti ada persidangan," ujarnya.
Bagus menyebut Satreskrim Polres Bogor telah mengeluarkan surat perintah penahanan dan surat perintah pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Baca: Hamili Dua Wanita Sekaligus, Oknum Polisi Ini Disidang Etik
Sekalipun tim dokter bentukan RS Polri menyarankan SM dirawat di Rumah Sakit Jiwa, dia memastikan proses hukum tetap bergulir.
"Kita tetap melakukan penegakan hukum, jadi tidak berhenti hanya karena keadaan tersangka ini menderita penyakit yang tadi disampaikan," tuturnya.
Penerapan pasal dinilai bermasalah
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai penerapan pasal tersebut, terutama dalam konteks kasus tersebut bermasalah.
Pertama, penerapan pasal tersebut dalam kasus SM sekadar instrumen favoritisme untuk menunjukkan keberpihakan dan menyenangkan kelompok warga mayoritas.