Awal Pemasangan Bambu Getih Getah di Bundaran HI yang Kini Dibongkar, Berawal dari Tantangan Anies
Awal Pemasangan Bambu Getih Getah di Bundaran HI yang Kini Dibongkar, Berawal dari Tantangan Anies. Instalasi itu bertahan selama 11 bulan.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Daryono
"Getah itu putih, getih itu merah, artinya merah putih. Pasukan Majapahit sudah pakai bendera itu zaman dulu, tapi bukan bersatu merah dan putih, belum bersatu," ujarnya.
4. Habiskan anggaran Rp 500 juta
Instalansi bambu Getih Getah diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada Kamis, 16 Agustus 2019.
Biaya pembuatan serta pemasangan instalasi seni bambu tersebut, menurut Anies, menelan biaya hingga Rp 550 juta.
"Biaya sekitar Rp 550-an (juta) kemudian dikonsorsium oleh 10 BUMD kalau enggak salah," ucap Anies di lokasi.
Anies juga menyampaikan, instalasi seni bambu tersebut hanya akan bertahan selama 6 hingga 12 bulan.
Hal ini karena materialnya dari bambu.
Di sisi lain, material ini mudah didaur ulang.
"Ya keunggulan bambu adalah biodegradable, sehingga otomatis didaur ulang alam," katanya.
Sementara itu, Joko Avianto menambahkan, karya instalasi bambu bersifat instalasi seni dan bukan monumental.
Bedanya, instalasi seni bambu memiliki keterbatasan umur yang lebih singkat dibanding sebuah ornamen.
Instalasi seni bambu ini bisa bertahan selama 6 bulan.
"Ini bukan ornamen, dan sifatnya seni instalasi bukan monumen. Dia memang punya keterbatasan umur. Tapi, kualitas bisa menyerupai karya-karya monumen."
"Kualitas dan bentuk menyerupai (monumen), tapi bahan tidak bisa menipu," ujar Joko, saat ditemui di Bundaran HI, Rabu (15/8/2018).
5. Respons warga dan netter setelah pembongkaran
Setelah 'berdiri' selama 11 bulan, instalasi bambu tersebut kini dibongkar pada Rabu (17/7/2019) malam.
Alasannya, kondisi karya seni tersebut mulai rapuh dan dikhawatirkan akan rubuh.
Kepala Dinas Kehutanan, Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta, Suzi Marsitawati mengungkap instalasi bambu tersebut kini tak dapat digunakan lagi.
Untuk sementara waktu, hanya ada tanaman-tanaman di bekas lokasi pemasangan Getih Getah."
"Sementara ditanam border semak, ground cover sambil menunggu instalasi lainnya. (Getih Getah) tidak dapat digunakan lagi," ucapnya.
Pembongkaran karya seni senilai Rp 550 juta itu pun menuai respons beragam dari warga.
Aidil (38), misalnya yang mengaku, tidak mempermasalahkan pembongkaran karena kondisi bambu yang sudah tidak bagus.
Meski demikian, ia menyayangkan dari segi anggaran yang terhitung besar, yakni Rp 550 juta.
"Kalau menurut saya dibongkar karena sudah rapuh. Kalau masalah anggaran, ya menyorot juga dari segi anggaran, sudah dibuat mahal-mahal," ucapnya saat ditemui di sekitar Bundaran HI, Kamis (18/7/2019).
Namun, pegawai swasta tersebut merasa wajar jika instalasi bambu itu berharga ratusan juta mengingat karya seni memang mahal harganya.
"Saya dengar harganya Rp 550 juta, itu wajar saja karena karya seni kan memang mahal-mahal," kata dia.
Lain halnya dengan Bima Putra yang menganggap, anggaran tersebut terlalu besar untuk seni yang dipakai tak sampai setahun.
Menurut dia, anggaran yang begitu besar tersebut bisa dipakai untuk keperluan lainnya.
"Kalau menurut saya sayang saja sih Rp 550 juta dalam waktu 11 bulan. Padahal bisa dibuat untuk yang lain. Perbaikan jalan, atau buat warga," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany Alatas.
Lewat akun Twitter-nya, Tsamara menyayangkan soal besaran anggaran yang dikeluarkan dan kini hancur.
Seharusnya sejak awal, sebelum dana setengah miliar tersebut dikeluarkan, telah ada kesadaran soal bambu yang mungkin tidak bisa bisa bertahan lama.
Meski demikian, ia sepakat dengan usaha untuk mempercantik kota dengan karya seni.
"Saya sih dukung mempercantik kota dengan karya seni. Itu tidak masalah."
"Persoalannya Rp 550 juta dikeluarkan & kini hancur? Sejak awal sebelum uang 550 juta itu digelontorkan, sadar atau tidak bahwa bambu itu mungkin tidak akan bisa bertahan lama dengan cuaca spt Jakarta?" tulis Tsamara.
(Tribunnews.com/Sri Juliati) (Kompas.com/Ryana Aryadita Umasugi/Nibras Nada Nailufar/David Oliver Purba)