Fraksi Gerindra: Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kaltim, Bentuk Pelarian dari Masalah
Pemerintah pusat seharusnya membantu menyelesaikan masalah di Jakarta sebagai ibu kota, bukan dengan meninggalkan Jakarta.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPRD DKI nondefinitif (sementara) Syarif mengatakan bahwa pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur hanyalah bentuk pelarian dari masalah.
Dia mengatakan, pemerintah pusat seharusnya membantu menyelesaikan masalah di Jakarta sebagai ibu kota, bukan dengan meninggalkan Jakarta.
"Enggak kalau saya sih minjam pendapat Pak Emil saja lah, kalau Jakarta ada masalah ya diberesin, bukan lari. Saya menjawab tadi, polusi enggak menurun, orang enggak diberesin," ujar Syarif di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).
Tetapi Ia pun tak menampik bahwa pemindahan ibu kota juga membawa dampak positif karena Jakarta sudah memiliki beban yang tumpang tindih.
"Iya positif kenapa ? Jakarta kan terlalu beban teramat banyak, kewenangannya tumpang tindih. Sehingga dengan pemindahan ibu kota menurut saya positif dampaknya untuk DKI," kata dia.
Anggota Fraksi Gerindra ini meminta agar selepas status Jakarta sebagai ibu kota, Jakarta dibuat menjadi daerah otonomi khusus.
Otonomi khusus ini diusulkan karena Jakarta tetap menjadi pusat bisnis dan mengurusi aset-aset pemerintah pusat yang ditinggalkan.
"Revisi undang-undang nomor 29 tentang ibu kota harus dibatalkan dulu, setelah batal baru dibuat undang-undang baru untuk DKI sebagai derah otonomi bukan sebagai pemerintahan ibu kota, tapi DKI sebagai otonomi khusus," ucapnya.
"Kenapa karena aset aset pemerintah pusat masih disini, walaupun katanya akan dilakukan tukar guling dan lain lain dengan swasta ya. Saya mendengar tuh ABPNnya 19 persen, dari 81 persen dunia usaha. Tapi walaupun bagaimana pun itu otonomi khusus lah," tambah Syarif.
Tidak mudah
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur tidak mudah dan perlu pertimbangan panjang.
Meski telah diputuskan pemerintah pada Senin kemarin (26/8), pekerjaan rumah soal ibu kota baru seperti payung hukum dan naskah akademik pun masih menunggu.
Ia mengatakan, langkah pertamanya adalah di DPR.
Di sana akan dikaji lebih intensif dari berbagai sektor, mulai ekonomi, lingkungan, sosial dan lainnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.