Pemda DKI Jakarta Dinilai Tidak Perlu Habiskan Anggaran Beli Komputer Mainframe
Menurut dia, BPRD DKI hanya perlu membangun infrastruktur cloud private dengan teknologi komputasi hiperskalar terbaru.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti di Internet Development Institute (ID Institute) Muhammad Salahuddien menilai pemerintah DKI Jakarta seharusnya tidak perlu menghabiskan anggaran yang besar untuk membeli komputer mainframe Z14 ZR1 yang sangat eksklusif.
Menurut dia, DPRD DKI hanya perlu membangun infrastruktur cloud private dengan teknologi komputasi hiperskalar terbaru.
"Itu jauh lebih murah namun dengan performa yang sama dengan IBM Mainframe Z14 ZR1. Kecuali apabila memang 'selera' arsitektur komputasi dan aplikasi yang digunakan 'lebih suka' menggunakan Mainframe. Bila itu masalahnya, maka dalam konteks penggunaan anggaran Pemerintah harus ada alasan atau justifikasi yang sangat kuat sebagai pertanggungjawaban atas pilihan tersebut," kata Muhammad kepada pers, Senin (9/12/2019).
Muhammad sebenarnya mempertanyakan alasan Pemda DKI Jakarta yang langsung menentukan tipe, jenis dan merk perangkat komputer yang diinginkan atau dipilih.
Pasalnya, dengan kondisi tersebut, tidak bisa dilakukan perbandingan atau benchmark terhadap harga maupun spesifikasi.
"Dalam bahasa 'proyek' kondisi demikian sering diistilahkan 'mengunci pada satu produk', yang secara umum di dalam aturan pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dilarang," katanya.
Kecuali, kata dia, ada justifikasi berupa kondisi tertentu seperti kebutuhan spesifik yang biasanya ditetapkan berupa peraturan terlebih dahulu atau hasil kajian, proof of concept (POC) yang menunjukkan kebutuhan tersebut secara konkrit.
Dalam hal ini tipe, jenis, merk perangkat komputer dimaksud yang diinginkan atau dipilih DKI adalah IBM Mainframe Z14 ZR1 beserta seluruh kelengkapannya - 9 unit SAN storage untuk IBM Mainframe berikut SAN Switch-nya. Biasanya biaya ini sudah termasuk lisensi, dalam kasus ini BPRD DKI sudah langsung menganggarkannya hingga 3 tahun ke depan.
Muhammad mengatakan perangkat IBM Mainframe ini sangat eksklusif.
Jumlah pesaingnya, kata dia, sangat sedikit, tidak lebih dari hitungan jari seperti DELL EMC, HP, NEC, Fujitsu, Unisys dan barangkali tidak semuanya memasarkan komputer jenis Mainframe di Indonesia.
"Berbeda dengan jenis komputer retail, untuk komputer Mainframe tidak pernah ada "listed price" karena satu sama lain hampir tidak mungkin diperbandingkan berdasarkan spesifikasinya karena untuk setiap client, boleh jadi punya "requirement" yang hanya bisa dilayani secara customize," katanya.
Dia mencontohkan berapa banyak CPU, memory, storage dan kekuatan komputasinya.
"Satu komputer Mainframe, biasanya hanya difokuskan untuk menangani satu pekerjaan khusus yang tidak dapat dipadankan denggan aktivitas di tempat lain," ungkap dia.
Menurut Muhammad, perlu dikonfirmasi ke pemda DKI Jakarta alasan mereka memilih "pricing model" berupa kepemilikan barang (investasi) yang memiliki konsekuensi tambahan, yakni penyediaan infrastruktur pendukung (data center, listrik dan sebagainya) dan pemeliharaan termasuk tenaga ahli teknis yang cukup langka.
Padahal, kata dia, terdapat cara yang lebih murah dan praktis, yakni dengan konsep "sewa" yang juga telah diterapkan IBM sendiri 20 rahun terakhir.
"Bagi orang yang mengerti masalah pricing model untuk IBM Mainframe ini, pasti akan bertanya kenapa BPRD DKI tetap memilih solusi pricing kepemilikan - yang tentu saja jadi liability - dan sangat mahal. Sementara ada solusi yang lebih murah dengan cara 'sewa' yang justru menjadi pilihan utama IBM sendiri," tandas dia.
Kemudian, Muhammad mengatakan, dari sudut pandang teknik komputasi, pada dasarnya teknologi komputer retail yang generik sekalipun sekarang mempunyai kemampuan untuk mengerjakan proses komputasi yang dahulu hanya bisa dikerjakan oleh komputer jenis atau kelas Mainframe.
Terutama, kata dia, setelah ada revolusi teknik komputasi terdistribusi atau distributed computing
"Revolusi teknik komputasi terdistribusi
memungkinkan sejumlah komputer kecil yang tersebar dapat dihubungkan dan saling berbagi sumber daya (CPU, RAM, storage) secara efisien melalui jaringan terbatas untuk berbagi tugas.
Misalnya, sejumlah tugas atau fungsi dalam satu aplikasi yang dipisahkan untuk dikerjakan oleh beberapa komputer yang berbeda. Jadi, yang dahulu hanya bisa dilakukan oleh komputer Mainframe, kini bisa diambil alih komputer biasa, namun dalam jumlah yang sangat banyak," tutur dia.
Konsep komputasi terdistribusi, kata dia, sudah menjangkau global seiring dengan kemajuan teknologi jaringan yang memungkinkan transfer data dan sumber daya dengan sangat cepat.
Teknologi ini sekarang disebut dengan cloud service atau layanan komputasi awan yang dapat memberi manfaat setara dengan komputasi Mainframe konvensional namun dengan biaya jauh lebih murah.
"Sebenarnya, apapun problem komputasi yang dibutuhkan oleh BPRD DKI untuk diselesaikan, tidak harus dengan Mainframe jawabannya. Dengan spesifikasi layanan cloud terkini, dapat dipenuhi atau dicukupi dengan biaya yang jauh lebih murah.
Untuk kapasitas komputasi yang setara, barangkali hanya perlu biaya kurang dari sepersepuluhnya. Itupun sudah bisa membangun sendiri infrastruktur hiperskalar private apabila ada concern privacy dalam hal ini, ketimbang menggunakan public cloud," pungkas dia.
Berdasarkan situs apbd.jakarta.go.id, pengadaan komputer tersebut terdiri dari pembelian satu unit komputer, dua unit storage area network (SAN) switch, enam unit server, dan sembilan unitstorage untuk mainframe.
Adapun rincian anggaran pengadaan komputer yaitu, satu unit komputer mainframe Z14 ZR1 seharga Rp 66,6 miliar (dengan PPN), dua unit SAN switch seharga Rp 3,49 miliar (dengan PPN), enam unit server seharga Rp 307,9 juta (dengan PPN) dan sembilan unit storage untuk mainframe seharga Rp 58,5 miliar.
Angka pengadaan komputer senilai Rp 128,9 miliar ini pun menjadi polemik.