Kisah Kakek Penjual Ikan Bertahan Hidup di Ibu Kota, Hidup Sebatang Kara Sering Menahan Lapar
Saat ini, setiap harinya, Didi berangkat diantar oleh pemilik ikan yang bernama Sumarni dari Kampung Raden ke Munjul.
Editor: Hasanudin Aco
Jari tangan yang habis terbakar di tahun 1986 membuatnya tak bisa menggenggam apapun.
"Saya sudah jarang makan nasi. Saya enggak bisa pegang sendok. Pegang sendok sangan susah buat saya. Jadi paling saya makan singkong aja. Saya cuma bisa lakukan kegiatan yang bisa pakai tangan dua," katanya.
Akhirnya, bila tak ada orang yang bisa dimintai tolong, Didi akan menahan lapar.
Seperti saat ditemui, Didi sama sekali belum makan sejak subuh. Ia menahan lapar hingga sore hari.
Sebab, jualannya hari ini terasa sangat sepi.
Dikatakannya, sedari pagi hanya beberapa orang saja yang membeli ikannya.
Beberapa orang yang singgah tak ada yang bisa dimintai tolong untuk membeli makan ataupun minum.
"Selama ini saya kalau lagi jualan minta tolong pembeli ikan. Saya minta belikan minum sama singkong di sana. Tapi dari tadi enggak ada yang bisa dimintai tolong. Jadi saya menunggu yang jemput aja, nanti berenti di jalan. Soalnya saya belum makan dari tadi pagi mangkal di sini," katanya.
Saat ini, setiap harinya, Didi berangkat diantar oleh pemilik ikan yang bernama Sumarni dari Kampung Raden ke Munjul.
"Saya sebenarnya juga ngambil lagi dari orang. Jadi saya ambil untung sedikit aja. Saya cuma niat bantu bapak aja. Jadi tiap pagi selepas subuh saya jalan dari rumah di Margonda ke Kampung Raden. Saya sapuin tempat mangkalnya bapak dan ambil sepeda yang dititipin di sekitar sini buat jualan ikan," katanya.
"Jadi kalau untung ke saya tipis ya karena kan untuk bensin motor. Tapi saya ikhlas begini. Makanya kalau bapak belum makan saya berhenti dulu beli singkong atau apapun yang bisa bapak makan," tandasnya
(TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.