11 Oknum TNI Dituntut 1-2 Tahun Bui, Pengamat: Hilangnya Nyawa Warga Sipil Tidak Dianggap Serius
Sebanyak 11 prajurit TNI dari Batalyon Perbekalan Angkutan (Yon Bekang) 4/Air TNI AD mengeroyok dan menganiaya hingga tewas seorang pria bernama Jusni
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 11 prajurit TNI dari Batalyon Perbekalan Angkutan (Yon Bekang) 4/Air TNI AD mengeroyok dan menganiaya hingga tewas seorang pria bernama Jusni di Jakarta Utara, pada 9 Februari 2020.
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan kasus yang menimpa Jusni adalah sebuah ironi.
Karena kasus ini boleh dibilang bertolak belakang dengan sikap yang diambil KSAD Andika Perkasa dalam kasus Polsek Ciracas yang bahkan sampai secara khusus meminta maaf.
"Pertama, kasus Jusni ini jelas sebuah ironi. Di tengah upaya serius para pimpinan TNI khususnya TNI AD menjaga dan meningkatkan citra lembaga, sejumlah oknum justru membuat ulah memalukan dan mencederai masyarakat dengan perkelahian yang berujung penganiayaan korban Jusni hingga tewas. Parahnya lagi, atasan mereka Kapusbekangad justru merekomendasikan keringanan hukuman. Menurut saya, ini harus menjadi perhatian pimpinan TNI," ujar Khairul, ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (19/11/2020).
Khairul juga menyinggung perihal tuntutan yang terbilang ringan. Meski ada yang disertai tuntutan pemberhentian dengan tidak hormat, namun dia melihat tuntutan itu seolah hilangnya nyawa warga sipil tidak dianggap serius.
"Tuntutan itu mengesankan bahwa apapun alasannya hilangnya nyawa warga sipil bernama Jusni ini tidak dianggap sebagai hal yang serius. Sehingga para pelakunya yang mestinya layak dihukum berat justru malah dituntut sangat ringan," jelasnya.
Baca juga: 2 dari 11 Oknum TNI Pelaku Penganiayaan Warga di Jakarta Utara Dituntut Dipecat
Tak hanya itu, soal transparansi proses peradilan yang dijanjikan Danpuspomad turut disinggung oleh Khairul.
Dia berpandangan bahwa janji transparansi itu tidak mengubah fakta bahwa rasa keadilan masyarakat telah tercederai oleh tuntutan ringan yang bahkan bisa saja kemudian hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim tingkat pertama nantinya, menjadi lebih ringan lagi.
Menurutnya, dalam banyak kasus yang ditangani peradilan militer, janji transparansi semacam itu nyaris tak punya makna. Ada banyak contoh dimana pelaku tindak pidana militer yang dihukum berat pada tingkat pertama, kemudian terkoreksi hukumannya menjadi jauh lebih ringan di tingkat banding atau kasasi.
"Bahkan ada yang terkoreksi melalui grasi presiden. Menurut saya, praktik-praktik buruk peradilan militer ini akan terus berpotensi terjadi selama agenda reformasi peradilan militer tak kunjung terwujud," kata dia.
"Ini salah satu PR besar yang harus dituntaskan jika TNI benar-benar serius menjaga citra dan profesionalismenya sebagai alat pertahanan negara," tandasnya.