Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rizieq Shihab Singgung Disparitas Hukum dalam Rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung

Terdakwa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) turut menyinggung terkait hasil rapat antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan Komisi III DPR RI dalam dupliknya

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Rizieq Shihab Singgung Disparitas Hukum dalam Rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung
Rizki Sandi Saputra
Terdakwa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) bersama menantunya, Muhammad Hanif Alattas dan Dirut RS UMMI Andi Tatat dalam sidang pembacaan Duplik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (17/6/2021). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) turut menyinggung terkait hasil rapat antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan Komisi III DPR RI dalam dupliknya.

Dalam rapat tersebut dibahas oleh Jaksa Agung dan Komisi III bahwa jangan sampai terjadi disparitas hukum atau penerapan hukum yang tidak seimbang bagi para orang yang kontra dengan pemerintah dalam upaya proses penegakan hukum.

"Anggota Komisi III DPR RI yang lain, Arsul Sani dari Fraksi PPP menyoroti adanya perbedaan penanganan hukum antara orang yang pro pemerintah dengan kalangan yang berseberangan dengan penguasa, sehingga terjadi Disparitas dalam Tuntutan Pidana," kata Rizieq dalam persidangan, Kamis (17/6/2021).

Lebih lanjut, Rizieq juga mengungkit terkait materi rapat Arsul Sani yang menyinggung perkaranya dengan Syahganda Nainggolan.

Kata Rizieq, perkara dirinya dengan deklarator KAMI itu seperti dipercepat untuk menjalani proses hukum pidana penjara, lantaran katanya besebrangan dengan pemerintah.

"Sedangkan dalam kasus yang sama, tapi terdakwa bukan dari kelompok yang berseberangan dengan pemerintah, maka tuntutan hukum tidak seperti itu. Karena itu Arsul Sani mengatakan muncul kesan bahwa Kejaksaan tidak murni lagi menjadi penegak hukum, tapi menjadi alat kekuasaan dalam penagakan hukum," ucapnya.

Bahkan kata eks Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin juga mengakui adanya perbedaan tuntutan tersebut.

Berita Rekomendasi

Jaksa Agung juga kata Rizieq mengakui belum dapat menyelesaikan disparitas hukum tersebut sehingga menugaskan Tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum).

"Menjawab itu Jaksa Agung ST Burhanuddin mengakui adanya perbedaan tuntutan hukum dalam penanganan perkara dan menyadari hal itu sebagai suatu kelemahan, dan Jaksa Agung RI juga mengakui belum bisa mengawasi Disparitas ini. Karena itu Jaksa Agung RI menugaskan Jampidum Fadil Zumhana untuk menangani Disparitas ini," tambahnya.

Atas dasar itu, Rizieq menyinggung jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan ini untuk berlaku adil.

Serta, Rizieq juga menasihati jaksa untuk jangan diskriminasi dan jangan memberlakukan disparitas hukum atau penerapan hukum yang tidak seimbang.

Baca juga: Rizieq soal Pertemuan dengan Tito dan Budi Gunawan:JPU Sangat Picik dan Naif Baca Persoalan

"Sekedar nasihat untuk JPU yang adil dan beradab, ketahuilah bahwa prinsip pengabaian keadilan dan prinsip pembenaran diskriminasi dengan alasan apapun adalah kezaliman luar biasa yang merusak prinsip dan norma serta nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab," imbuhnya.

Diberitakan sebelumnya, Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin beserta jajarannya, Senin (14/6/2021).

Dalam rapat itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani menyoroti dugaan disparitas dalam tuntutan perkara tidak pidana umum yang terjadi pasca dikeluarkannya Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

Awalnya Arsul mengira pedoman tersebut akan mengubah kultur dimana JPU di lapangan dapat mengekspresikan kewenangannya dengan lebih baik.

"Namun saya lihat terjadi disparitas setelah keluarnya pedoman ini yakni disparitas dalam penuntutan perkara tindak pidana umum, khususnya disparitas ini terjadi dalam perkara yang sering oleh publik dimaknai suatu berkaitan dengan kebebasan berekspresi, hak berdemokrasi," ujar Arsul, dalam rapat kerja dengan Jaksa Agung, Senin (14/6/2021).

Arsul kemudian mencontohkan disparitas itu terjadi dalam kasus yang menjerat Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan kasus yang menjerat Sunda Empire.

Menurutnya, orang yang memiliki sikap kecenderungan berseberangan dengan pemerintah mendapatkan hukuman maksimal.

Sementara di kasus Sunda Empire -- dengan asumsi sikap politik yang tidak berseberangan dengan pemerintah-- Arsul menilai hukuman yang menjerat mereka tidaklah maksimal, meski dakwaannya serupa dengan orang yang berseberangan dengan pemerintah.

"Disparitas ini misalnya saya lihat yang sekarang prosesnya sedang berjalan misalnya dalam kasus Rizieq Shihab, dalam kasus Syahganda Nainggolan, dalam kasus kalau dulu Ratna Sarumpaet. Ini perkara ini dituntut maksimal 6 tahun, padahal saya lihat perkaranya yang didakwakan pasalnya sama kemudian dikaitkan dengan status penyertaannya pasal 55 itu juga sama, tapi tuntutannya beda kalau yang melakukan adalah bukan orang-orang yang posisinya berseberangan dengan pemerintah atau yang berkuasa," jelas Arsul.

"Coba kita lihat kalau posisi politiknya tidak berseberangan dengan pemerintah, katakanlah soal petinggi Sunda Empire Nasriban, Ratna Ningrum, Ki Ranggga Sasana itu tuntutannya 4 tahun," imbuhnya.

Wakil Ketua MPR RI itu pun meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan hal itu. Sebab, hal itu menimbulkan kesan Jaksa Agung menjadi alat kekuasaan. Dimana menegakkan hukum sebagai alat kekuasaan dan bukannya alat negara.

"Ini kemudian menimbulkan kesan bahwa Kejaksaan Agung juga dalam tanda kutip 'tidak lagi murni menjadi alat negara yg melakukan penegakan hukum', tetapi juga menjadi 'alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum'," tandasnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas