Belajar dari Kesederhanaan Ismamat, Ojek Sepeda yang Bertahan di Tengah Gempuran Transportasi Online
Selasa (27/7/2021) siang, Ismamat alias Mamat mengambil tempat terbaik di bawah pohon, sambil meresapi sejuknya udara yang berhembus.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama pohon rindang di depan Masjid Al-Husna belum rubuh, semangat Ismamat (68) tak bakal runtuh.
Pohon di Jalan Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu menjadi tempat berlindung saat pria tua itu mengais rejeki.
Selasa (27/7/2021) siang, Ismamat alias Mamat mengambil tempat terbaik di bawah pohon, sambil meresapi sejuknya udara yang berhembus.
Ia duduk di atas sepeda ontel, melirik ke sana ke mari berharap ada yang minta diantar.
Di tengah kesendiriannya, Mamat duduk menanti penumpang, sambil mengisap dalam-dalam rokok kretek yang terselip di jari-jarinya.
Sesekali Mamat memperhatikan sepeda ontel miliknya yang ia duduki di tepi trotoar.
Tunggangan itu, meski dipenuhi karat, sudah menjadi teman setia dalam menjalani hari-hari penuh ketidakpastian selama enam tahun terakhir.
Mamat ternyata baru saja tiba di tempat mangkalnya itu siang tadi.
Baca juga: Respon Ketua Gabungan Aksi Roda Dua Soal Viral Seruan Driver Ojek Online Demo ke Istana Negara
Setelah semalaman sepi penumpang, Mamat akhirnya memilih keluar pada siang hari.
"Saya malem itu jam 7 sampai pagi baru pulang, ini kebeneran semalem nggak dapet (duit) jadi narik siang," kata Mamat mengawali perbincangannya bersama awak media, Selasa siang.
Baca juga: Operator Ojek Online Diminta Tidak Menjual Atribut Mitra Secara Bebas
Kemarin malam Mamat hanya mengantongi Rp 5 ribu hasil mengantar penumpang jarak dekat.
Uang tersebut pun masih di bawah tarif yang biasa dipatoknya untuk sekali jalan.
Karena berjam-jam ditunggu tak ada lagi penumpang selanjutnya, akhirnya Mamat pulang ke rumahnya di Kampung Bahari.
Lain Dulu, Lain Sekarang
Seiring perkembangan zaman, geliat ojek sepeda ontel pelan-pelan terkikis dengan keberadaan ojek online, bahkan ojek pangkalan.
Kini, ungkap Mamat, hanya ada sedikitnya 15 tukang ojek sepeda ontel yang tersisa di sekitaran Jalan Enggano sampai ke arah Terminal Tanjung Priok.
Masing-masing tukang ojek menarifkan jasa sekali antar sebesar Rp 15 ribu.
Tarif semakin naik apabila jarak semakin jauh.
Sampai sekarang, Mamat mengaku masih sanggup apabila ada penumpang yang minta diantar dengan jarak 5-10 kilometer, sebut saja dari Jalan Enggano ke wilayah Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara.
"Tarif bisa Rp 15 ribu, Rp 20 ribu, Rp 25 ribu, tergantung jarak dan yang ngasih juga," kata Mamat.
"Kayak ke Rawa Badak bisa Rp 20 ribu, tapi ada aja yang ngasih Rp 25 ribu," kata Mamat mengungkapkan ada saja orang-orang baik yang memberi lebih.
Beberapa tahun lalu, pendapatan Mamat dalam sehari bisa mencapai Rp 50-70 ribu.
Sekarang, mencari satu penumpang saja susahnya bukan main.
Selain menghadapi ojek motor pangkalan yang masih banyak keberadaannya, Mamat dan belasan tukang ojek sepeda ontel lainnya juga harus bersaing dengan ojek online yang belakangan sedang naik daun.
Karenanya, Mamat hanya bisa pasrah ketika seharian tak dapat orderan.
Kemudian, Mamat hanya bisa terduduk di sadel ontelnya, meresapi sejuknya udara yang seakan menjadi bukti bahwa Tuhan masih memberikan hal-hal baik dalam hidupnya.
Mamat lantas akan berserah diri. "Tergantung rejeki, kalau ada penumpang berarti rejeki," katanya.
Belasan Tahun Jadi Kuli Pelabuhan
Di tengah usianya yang hampir tembus 70 tahun, Mamat mengaku tak sedikit calon penumpang yang meragukan kemampuannya.
Mereka belum tahu, tubuh Mamat sempat terasah saat dirinya belasan tahun mencari nafkah sebagai kuli panggul di pelabuhan.
"Kadang ada aja yang nanyain, 'masih kuat?' Saya jawab, ‘masih om, kalau nggak kuat udah pulang kampung," katanya seraya berkelakar.
Mamat dulu datang dari kampungnya di Bogor untuk menjadi kuli panggul di Tanjung Priok.
Setidaknya 12 tahun waktu yang dibutuhkan Mamat untuk menjadi kuli panggul, sebelum akhirnya ia sadar bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk pekerjaan tersebut.
"Dulu jadi kuli di pelabuhan selama 12 tahun tapi abis itu udah nggak lagi, udah tua, makanya jadi tukang ojek sepeda," kata Mamat.
Akhirnya, dengan sisa-sisa uang yang ia punya, Mamat membeli sepeda ontel bekas dan bertolak menjadi tukang ojek sejak tahun 2015.
Makan Nasi Pakai Kecap
Hidup Mamat memang pas-pasan, tapi semangatnya bertahan di tengah kondisi serba sulit masih berlimpah.
Mamat bersyukur masih bisa menghidupi istri dan anaknya dengan uang yang ia tabung dari pendapatannya sehari-hari sebagai tukang ojek sepeda ontel.
Namun, kenyataan yang dijalani Mamat sempat cukup pahit.
Mamat mengaku pernah makan nasi hanya pakai kecap karena uangnya sudah habis untuk bayar kontrakan.
Apalagi ketika saat ini istrinya sedang tak memiliki pekerjaan setelah sebelumnya sebagai asisten rumah tangga.
"Makan juga begitu, kadang makan nasi sama kecap. Kan yang penting bisa bayar kontrakan, cukup-cukupin aja lah," ucapnya.
Dalam menghidupi hari-hari tuanya, Mamat tak pernah letih mengayuh sepeda ontelnya demi mengantar orang-orang ke tempat yang dituju.
Peluh dan rasa lelah terus dirasakan Mamat sepanjang jalan, sambil berharap ada penumpang-penumpang lain yang menggunakan jasanya.
Selama pohon rindang di depan Masjid Al-Husan belum tumbang, selama itu pula Mamat akan terus berjuang.
Selama masih ada nasi dan kecap, selama itu juga Mamat akan terus berharap.
Artikel ini tayang di TribunJakarta.com dengan judul Pohon Rindang & Nasi Kecap: Mamat Si Tukang Ojek Sepeda Ontel Bertahan di Tengah Perkembangan Zaman
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Wahyu Septiana