Kisah Mulyono, Sopir Ambulans Panggilan yang Kerap Rela Tidak Dibayar Demi Kemanusiaan
Mereka tak bergeming saat ditanya siapa yang biasanya mengendarai mobil prioritas utama yang kerap terparkir di halaman kelurahan itu.
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Alfarizy AF
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tawa canda memecah keheningan malam.
Malam itu di pelataran Kantor Kelurahan Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (21/4/2022), tampak beberapa orang berseragam orange.
Mereka tak bergeming saat ditanya siapa yang biasanya mengendarai mobil prioritas utama yang kerap terparkir di halaman kelurahan itu.
Dari kejauhan, sosok pria paruh baya melambaikan tangan seraya menanyakan maksud kedatangan Tribunnews.com sekira pukul 22.00 WIB.
"Ada apa mas kok tanya-tanya ambulans, ada perlu ya?" ujar pria itu.
Baca juga: Fakta-fakta Pria Mengaku Polisi Hadang Ambulans, Ingin Memastikan Benar-benar Ada Pasien atau Tidak
Tak lama berselang, ia mengaku kerap menjadi sopir ambulans yang terparkir di halaman kantor tersebut.
Sopir ambulans itu bernama Mulyono.
Kepada Tribunnews.com ia menceritakan perjalanan hidupnya.
Mulyono lahir 53 tahun silam di kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Keluarganya bukanlah penduduk asli Ibu Kota DKI Jakarta.
Dia berasal dari Tegal, Jawa Tengah.
"Saya punya 12 saudara kandung, semuanya lahir di Jakarta, orang tua aslinya dari Tegal," ujar pria berkumis lebat itu.
Sopir ambulans bukanlah pekerjaan aslinya.
Saat ini ia menjadi petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum atau yang biasa disebut PPSU.
Pria yang akrab disapa Pak Mul itu menceritakan kisahnya sebelum menjadi petugas PPSU sekaligus supir ambulans panggilan.
Pak Mul mulanya berkeinginan terjun ke dunia militer.
Jadi tentara adalah cita-citanya sejak kecil.
Hal itu dibuktikannya saat lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) mendaftar Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) atau yang saat ini dikenal dengan Akademi Militer (AKMIL).
Proses pendaftaran hingga bermacam-macam tes, sukses dilalui Pak Mul. Secercah harapan muncul dibenaknya.
Pak Mul sudah membayangkan ia memakai baret hijau khas pasukan infanteri angkatan darat.
Selangkah lagi harapan menjadi seorang perwira muda harus ia telan bulat-bulat.
Pak Mul gagal saat sidang Panitia Penentu Akhir (Pantukhir) di Magelang, Jawa Tengah.
Kekecewaan itu ia bawa pulang ke kediamannya, seturut dengan rasa malu dan stres.
"Saat itu saya sudah mau gila rasanya, itu orang-orang sekampung saya, sudah mengira pasti saya diterima di angkatan darat," ujar Pak Mul.
Pak Mul juga sempat menunjukkan foto rekannya semasa SMA yang juga mendaftar AKABRI, yang saat ini berpangkat Kolonel dan bertugas di Kodam IV Diponegoro.
Berangkat dari masa kekecewaannya itu, ia merantau kembali ke Jakarta, setelah semenjak SMA ia kembali ke kampung halamannya.
Pekerjaan tak kunjung ia dapatkan, ia mengaku sempat ditawari mengikuti Sekolah Calon Bintara ( SECABA) ABRI, namun ia dengan tekad bulat menolak tawaran itu.
Pilihannya berlabuh menjadi buruh pabrik di kawasan Jakarta Utara.
Sekira tujuh tahun berselang, ia keluar dari pekerjaannya, dan memilih untuk menjadi sopir bajai.
Pak Mul menceritakan pengalamannya saat menjadi supir bajai di kawasan Jakarta Pusat.
Nilai kemanusiaannya pertama kali nuncul saat ia menolong korban kecelakaan dan menjadi saksi untuk kepolisian.
"Waktu itu saya sedang lewat, ada orang kecelakaan dan itu korban masih hidup, tapi tidak ada yang mau nolongin, saya inisiatif langsung berhentiin mobil lewat dan berangkat ke rumah sakit," ujar Ayah empat anak ini.
Tak hanya itu, ia juga menceritakan sempat pernah membawa seorang pria yang terkulai lemas di pangkuan seorang perempuan ke rumah sakit.
Belakangan diketahui pria itu menjadi korban penembakan senjata api.
"Saya lihat kan dipinggir jalan ada yang sudah kaya sekarat gitu, saya gak pikir panjang, saya langsung bawa ke rumah sakit, perkara saya jadi saksi urusan belakangan, yang penting saya niat menolong," ucapnya.
Sepeninggalan bajainya yang termakan usia, Pak Mul beralih profesi menjadi sopir tembak untuk Mikrolet dengan trayek di daerah Depok, Jawa Barat.
Disinilah Pak Mul mulai dunianya menjadi supir angkutan dengan bermodal SIM B1 Umum. Dengan pengalamannya tersebut, ia mulai kerap dipercayai mengendarai ambulans.
"Karena mungkin orang-orang sini tau kalau saya bisa bawa mobil, jadi saya yang disuruh bawa ambulans kalo ada sesuatu yang penting," ujarnya.
Kisahnya beragam saat menjadi supir ambulans panggilan. Selama menjadi sopir ambulans, ia mengaku tak pernah mengambil uang yang diberikan kepadanya sebagai upah mengantar jenazah di kawasan Jakarta.
"Saya jujur, gak pernah ambil uang yang dikasih ke saya, saya ikhlas menolong, jika hanya di sekitar Jakarta saya tidak mau ambil (uang), tapi kalau lokasinya jauh saya hanya ambil sebagian untuk uang lelah saya," ujarnya lirih.
Pak Mul nengaku pernah mengembalikan uang yang diberikan kepadanya sebagai upah.
Uang yang diberikan sejumlah Rp 2.400.000 namun ia hanya mengambil sebanyak Rp 1.300.000 itupun sudah termasuk biaya Tol dan kebutuhan bahan bakar.
"Pernah disuruh anter jenazah ke Garut, saya dikasih Rp 2,4 juta tuh, tapi saya balikin, itu terlalu banyak untuk saya, hal itu saya lakukan murni karena memang hati saya ikhlas menolong," ujarnya terharu, sambil sesekali menyeka air mata diujung matanya.
Saat pandemi Covid-19 berlangsung, Pak Mul disibukkan dengan antar jemput jenazah dari Rumah Sakit di kawasan Jakarta Pusat menuju TPU Kawi-Kawi, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Tak hanya sekadar mengantarkan jenazah, ia juga mengaku sempat ikut memandikan jenazah hingga menggali liang kubur.
"Saya sempat juga bantu untuk memandikan jenazah, pernah juga sampai tolong gali kubur," ujarnya.
Pak Mul berprinsip, kehidupan ini bukan hanya soal uang. Ia juga menanamkan hal yang sama kepada empat anaknya.
Anak pertama hingga ketiga, sudah sukses ia kuliahkan ke jenjang strata satu, sedangkan anak bungsunya sedang duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar.
Ketiga anaknya berkuliah dari jerih payah Pak Mul.
Ia mengatakan kisah kegagalannya saat mencalon AKABRI menjadi cambuk agar ia dapat mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan.
"Saya selalu nasehati anak-anak, jangan pernah pikirin apa yang orang tua kerjakan, fokus saja kuliah," ujar Pak Mul menirukan gaya berbicara dengan anaknya.
Anak sulungnya lulus dari jurusan pendidikan dan saat mengajar di salah satu sekolah swasta di Jakarta Pusat, anak keduanya sarjana akuntansi, saat ini sedang bekerja di Perusahaan Gas Negara (PGN), serta anak ketiganya sedang menempuh jurusan ekonomi di salah satu kampus swasta di Jakarta.
Diusianya yang ia rasa tak muda lagi ini, Pak Mul berharap anak-anaknya dapat menjadi seorang yang berguna bagi lingkungan sosial kemasyarakatan.
"Saya sudah umur segini, cuma berharap anak-anak bisa berguna untuk sekitarnya saja," ujarnya sambil tersenyum.