Gus Najih: Moderasi Beragama Cara Terbaik Perangi Radikalisme dan Terorisme
Radikalisme dan terorisme adalah bentuk kejahatan yang sangat kompleks. Walaupun berbagai aksi dan dampak buruknya bisa teratasi.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Radikalisme dan terorisme adalah bentuk kejahatan yang sangat kompleks. Walaupun berbagai aksi dan dampak buruknya bisa teratasi, namun bahaya latennya tetap menghantui.
Hal ini disebabkan oleh bibit radikalisme yang sudah mengakar kuat dalam pemikiran, relatif sulit pendeteksiannya bila dibandingkan dengan tindak kejahatan lainnya.
Maka dari itu, moderasi beragama menjadi rumusan yang mampu membendung hingga menghilangkan efek negatif pendangkalan dalil agama oleh kelompok radikal.
Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU), M Najih Arromadloni menjelaskan bahwa pengertian moderasi beragama itu tidak menciptakan agama baru, tetapi mengembalikan agama pada karakter aslinya yang memang sudah moderat.
“Sehingga tidak ada pemisahan antara agama yang moderat ataupun radikal. Agama itu pada dasarnya moderat, pemeluknya-lah yang membawa agama itu untuk tindakan ekstrem. Menjadi penting bagi kita untuk mengarusutamakan moderasi beragama ketika bermunculan penyakit di tengah masyarakat yang bernama ekstremisme. Istilah moderasi beragama kemudian digaungkan untuk menjadi solusi bagi semua,” ungkap pria yang akrab disapa Gus Najih ini, Rabu (20/12/2023).
Ia mengatakah bahwa masyarakat tentu masih ingat bahwa Indonesia sempat mengalami turbulensi politik yang cukup keras karena permainan kelompok radikal yang menggoyang stabilitas nasional.
Beberapa kali perhelatan pemilihan umum, baik di tingkat daerah maupun nasional, diwarnai dengan kerasnya politik identitas dan menjurus pada dikotomi murahan yang isinya 'si baik melawan si jahat.'
Salah satu contohnya adalah peristiwa demonstrasi 212 di tahun 2016, persis sebelum Pilkada DKI dilangsungkan pada 20 April 2017. Politisasi agama yang dilakukan saat itu ternyata bisa menimbulkan efek berantai sedemikian besar.
Show of force kelompok radikal yang menunggangi aksi 212 sebenarnya tidak terjadi secara instan, melainkan mereka telah menancapkan pengaruhnya pada beberapa instansi, mulai dari perguruan tinggi hingga pemerintahan.
Gus Najih menguaraikan, peristiwa demonstrasi 212 menjadi titik balik yang membuka mata banyak orang, bahwa ada persoalan intoleransi dan radikalisme yang harus ditangani dengan segera.
Ormas-ormas seperti NU dan Muhammadiyah kemudian mulai bergerak dengan semakin banyak mempublikasikan narasi moderat ke tengah masyarakat.
Ormas moderat inilah yang kemudian mendorong Pemerintah untuk membubarkan beberapa organisasi Islam radikal yang saat itu cukup kuat pengaruhnya.
“Kita bisa lihat bagaimana organisasi seperti Nahdlatul Ulama yang giat menuntut pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). NU juga terus menyuarakan supaya salafi dan wahabi itu bisa dibendung perkembangannya, karena dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan masyarakat kita yang bhinneka ini,” tutur Gus Najih.
Mencuatnya berbagai aktivitas jaringan teror seperti Negara Islam Indonesia (NII), lanjut Gus Najih, juga sempat menyita perhatian publik.