HNW Sesalkan Raibnya Pancasila Dan Bahasa Indonesia dari Daftar Mata Kuliah Wajib
Pemerintah diharapkan mencabut dan mengevaluasi secara menyeluruh Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 yang sudah ditandatangani presiden.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menyayangkan berulangnya kecerobohan dalam pembuatan peraturan.
Sebelumnya kecerobohan terjadi pada kasus hilangnya “frasa Agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Kini kecerobohan tersebut terjadi pada hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Wajib untuk Perguruan Tinggi, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021.
HNW sapaan akrab Hidayat mengusulkan, untuk mengakhiri polemik dan kegaduhan, diharapkan Pemerintah segera mencabut dan mengevaluasi secara menyeluruh Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 yang sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan oleh Menkumham.
Karena menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi, adalah suatu hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yang akan memperbaiki kesalahan tersebut dengan merevisi PP No.57/2021, menurut HNW itu tidaklah memadai. Apalagi sebelumnya Kemendikbud juga melakukan kesalahan fatal dengan menghilangkan frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional.
Karena itu perlu dilakukan evaluasi mendasar dan menyeluruh, setelah hilangnya frasa Agama, dan sekarang hilangnya Pancasila serta Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib, di tengah gencarnya Pemerintah memerintahkan Rakyat untuk melaksanakan Pancasila, memerangi terorisme dan radikalisme.
“Peristiwa bermasalah itu tentu bukan hal yang biasa saja dan bisa menjadi sangat serius,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (17/4/2021).
Lebih lanjut, HNW menuturkan bahwa evaluasi menyeluruh dan pencabutan terhadap PP tersebut perlu dilakukan agar kebijakan atau proses legislasi yang dilakukan oleh Pemerintah tidak lagi dilakukan secara grusa grusu dan mengabaikan prinsip kehati-hatian juga profesionalitas.
“Ini sudah kesekian kali terjadi. Sebelumnya, hilangnya frasa agama dari Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, atau Perpres yang membolehkan investasi miras, yang akhirnya dicabut oleh Presiden. Dan sekarang hilangnya kewajiban Mata Kuliah Pancasila,” ujarnya.
“Ini untuk memastikan bahwa peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Dan siapapun yang bertanggung jawab atas kesalahan ini agar diberi sanksi. Karena masalah itu tidak hanya mispersepsi seperti disampaikan oleh Mendikbud, tetapi adanya proses penyiapan suatu PP yang isinya tidak sesuai dengan Undang-Undang dibiarkan sampai ke meja Presiden bahkan sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan oleh Menkumham. Kalau kesalahan fatal soal aturan resmi terkait Pendidikan ini tidak dikoreksi dengan serius, maka ini akan menjadi teladan buruk dan pembelajaran negatif bagi Mahasiswa, dunia Pendidikan dan bahkan masyarakat pada umumnya,” kata Hidayat menambahkan.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), itu juga menyayangkan sikap Mendikbud dan Presiden Jokowi yang tidak teliti sebelum memproses Rancangan PP itu dan menandatanganinya.
“Kok bisa PP yang tak sesuai dengan UU tersebut bisa sampai ke Presiden dan akhirnya ditandatangani oleh Presiden. Seharusnya hal ini tidak akan terjadi apabila seluruh proses berjalan dengan prinsip amanah/profesional, teliti dan hati-hati,” tambahnya lagi.
HNW menilai upaya untuk mengkoreksi PP bermasalah ini tidak bisa hanya sekadar menggunakan siaran pers sebagaimana sudah dilakukan Kemendikbud, tetapi mestinya melalui pencabutan resmi untuk merevisi PP tersebut oleh Presiden.
Ia khawatir bila itu tidak dilakukan, maka PP ini akan bernasib sama seperti Perpres No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang membolehkan investasi miras, yang secara lisan Presiden menyatakan mencabut, tetapi tidak dilanjutkan dengan proses koreksi legislasi.
“Sampai sekarang revisi atau pencabutan resmi terhadap Perpres tersebut belum ada. Jadi, lampiran Perpres tersebut hanya dicabut berdasarkan pidato Presiden Jokowi. Jadi bagaimana status hukum pencabutan tersebut juga dampak turunannya? Ini jelas tidak sesuai dengan prinsip dan mekanisme yang semestinya berlaku di negara hukum yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” jelasnya.
HNW berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi pemerintah, dan segera mengkoreksi dengan cara yang legal.
“Sebaiknya PP itu secara resmi segera dicabut oleh Presiden yang telah menandatanganinya, dan dilakukan evaluasi secara menyuruh. Setelah dipastikan tidak lagi bermasalah, Presiden mengeluarkan PP baru yang mewajibkan pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia beserta pengaturan teknisnya, sebagaimana diatur dalam UU Perguruan Tinggi, UU Sisdiknas dan juga UUDNRI 1945,” pungkasnya.