Hadir Dalam Munas Srikandi Pemuda Pancasila, Ma'ruf Cahyono Sampaikan Pentingnya Karakter Bangsa
Menurutnya, ada ancaman lain yang tidak kalah mautnya dengan ancaman di atas. Ancaman baru itu adalah Tantangan di Era Industri 4.0, yakni disrupsi.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Suatu kebangaan tersendiri bagi Srikandi Pemuda Pancasila (PP) ketika Sekretaris Jenderal MPR Dr. Ma’ruf Cahyono SH., MH., hadir dalam Musyawarah Nasional II Srikandi PP. Srikandi PP merupakan sayap dari PP yang menaungi kaum perempuan.
Kehadiran Ma’ruf Cahyono di kegiatan yang digelar di Depok, Jawa Barat, 12 Desember 2021, untuk menjadi narasumber dalam salah satu sesi seminar yang mereka gelar. Di hadapan ratusan anggota Srikandi PP yang datang dari segala penjuru tanah air, Ma’ruf Cahyono dalam kesempatan tersebut memaparkan tentang pentingnya paham kebangsaan dan tantangan yang akan dihadapi.
Dikatakan oleh alumni Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, itu nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang ada pada masyarakat suatu bangsa akibat adanya persamaan sejarah, penderitaan akibat penjajahan. “Rasa kebangsaan tersebut melahirkan persatuan antar masyarakat suatu bangsa tanpa melihat perbedaan latar belakang seperti agama, suku, ras, golongan, bahasa dan lain-lain yang ingin hidup merdeka dan bebas dari penindasan dan penjajahan,” ujarnya.
Menurut pria asal Banyumas itu, banyak teori yang dikemukakan terkait paham ini. Disebut ada yang diungkapkan oleh Anthony D. Smith, Ernest Renan, dan Hans Kohn. Terkait berbagai terori yang ada, Ma’ruf Cahyono secara tegas mengemukakan teori nasionalisme dari Ir. Soekarno. Teori tersebut dikemukakan, “nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia. Nasionalisme kita haruslah lahir dari pada kemanusiaan.“
Menurut pria yang saat ini menambah gelar doktor di Program Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia bahwa nasionalisme bangsa ini menghadapi berbagai tantangan. Tantangan datang dari kekuatan ideologi lain, ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan dan keamanan. “Ancaman ideologi itu berupa komunis, radikal kanan, dan ideologi lainnya,” tuturnya. Sedang dalam bidang politik, ancaman yang datang berupa KKN dalam penyelenggara negara, konflik internal partai politik, belum maksimalnya fungsi pendidikan politik oleh parpol pemimpin nasional, dan potensi kerawanan dalam berbagai pemilu.
Menurut pria yang menjadi dosen Magister Hukum di Universitas Jenderal Soedirman itu, ada ancaman lain yang tidak kalah mautnya dengan ancaman di atas. Ancaman baru itu adalah Tantangan di Era Industri 4.0, yakni disrupsi. Diuraikan, disrupsi adalah perubahan yang fundamental atau mendasar. Inovasi yang menggantikan cara-cara lama dengan cara-cara baru. Teknologi lama “serba fisik” diganti dengan Teknologi Digital. Evolusi teknologi yang menyasar pada kehidupan manusia. “Digitalisasi, mengubah hampir semua tatanan kehidupan. Fenomena menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata ke dunia maya,” tuturnya.
Untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada, pria yang pernah menjadi Plt. Sekretaris Jenderal DPD tahun 2017-2018 dalam kesempatan tersebut memberikan resepnya. Resep itu adalah pembangunan karakter. Dikatakan, harus ada reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari ketidaktepatan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an.
Ketidaktepatan ini menurutnya dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekhawatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa.”
Karakter yang perlu dibangun menurut Ma’ruf Cahyono adalah kemandirian yang menurut Soekarno “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Tak hanya itu, demokrasi atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis juga perlu dibangun. “Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik.
Lebih lanjut disebutkan ada dua langkah lagi yang perlu diperhatikan, pertama persatuan nasional. Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini. “Kedua, martabat Internasional”, ujarnya. Lebih lanjut dikatakan, Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional.