Rerie: Para Legislator Harus Memiliki Pemahaman yang Utuh untuk Mempercepat Lahirnya UU TPKS
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat ungkap RUU TPKS dirancang untuk melindungi korban dari aspek yang lebih luas lagi yaitu aspek kemanusiaan
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Upaya memberi pemahaman yang utuh terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) harus terus dilakukan, agar tujuan memberi kepastian hukum dan melindungi korban pada tindak kekerasan seksual bisa terwujud dengan hadirnya UU TPKS.
"Sejumlah pihak memang belum sepenuhnya memahami secara utuh terkait pasal-pasal pada RUU TPKS, sehingga perlu ada upaya untuk memberi pemahaman kepada sejumlah pihak," kata Wakil Ketua MPR RI bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah, Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/1).
Menjelang pelaksanaan Rapat Paripurna yang direncanakan Selasa (18/1) untuk memutuskan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR, menurut Lestari, perlu dukungan pemahaman yang utuh dari para legislator.
Semangat para legislator, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, memang terkesan menggebu untuk memasukkan sejumlah usulan pada RUU TPKS, dalam menyikapi maraknya tindak kekerasan seksual di masyarakat.
Bahkan, tambah Rerie, sejumlah pihak berharap memasukkan aspek kesusilaan juga diatur dalam RUU TPKS. Padahal, RUU TPKS dirancang untuk melindungi korban dari aspek yang lebih luas lagi yaitu aspek kemanusiaan.
Menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, meletakkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan dapat mengakibatkan degradasi derajat tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang kemudian hanya meletakkan kejahatan kekerasan seksual sebagai kejahatan moralitas.
Padahal, Presiden Jokowi saat membuka sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, pada 10 Mei 2016, menyatakan kejahatan seksual yang marak terjadi sebagai bentuk kejahatan berat yang harus ditangani serius.
Memasukkan norma-norma kesusilaan dalam RUU TPKS misalnya, ujar Rerie, akan berdampak norma tersebut malah tidak mampu menjangkau perlindungan terhadap korban sehingga berdampak pada melemahnya upaya penyelesaian secara hukum.
Apalagi, tambahnya, tindak pidana kesusilaan dalam doktrin hukum pidana termasuk delik personal atau delik subjektif yang oleh sebab itu tidak bisa diukur secara objektif, seperti tindak pidana kekerasan seksual.
Sejumlah isu yang belum mendapat pemahaman yang utuh dari sejumlah pihak, tegas Rerie, diharapkan segera disampaikan dengan argumen-argumen yang mudah dipahami.
Sehingga perangkat hukum yang benar-benar memberi kepastian hukum dalam mencegah, melindungi dan merehabilitasi korban dan pelaku kekerasan seksual, tambah Rerie, bisa segera hadir di tengah maraknya tindak kekerasan seksual di masyarakat. (*)