Wakil Ketua MPR: Pentingnya Libatkan Masyarakat Lokal untuk Kembangkan Pariwisata yang Berkelanjutan
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat mengungkapkan bahwa penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Akselerasi pertumbuhan sektor pariwisata harus disertai peningkatan kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan harus melibatkan masyarakat lokal.
"Setiap pelestarian budaya mesti berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Karena budaya selain sebagai sumber nilai dan identitas bangsa, dapat menjadi komoditas yang berperan penting dalam peningkatan ekonomi," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, mengutip pernyataan Almarhum Prof. Mundarjito, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia.
Lestari menyampaikan hal itu saat memberi sambutan pada diskusi daring bertema Warisan Budaya yang Berkelanjutan dan Akselerasi Sektor Pariwisata yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (22/6).
Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Direktur Sparklabs Incubation Univ. Pelita Harapan) itu menghadirkan Dr. Sandiaga Salahuddin Uno, BBA., MBA. (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI), Dr. Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI), Drs. Marsis Sutopo, M.Si (Ketua Umum Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia /IAAI), Prof. Dr. Diena Mutiara Lemy, A. Par., M.M., CHE.(Akademisi Universitas Pelita Harapan) dan Dr. Irwansyah (Pakar Komunikasi Universitas Indonesia) sebagai narasumber.
Selain itu, juga menghadirkan Suyanto (Kepala Desa Karanganyar, Borobudur, Magelang) dan Virgie Baker (Dewan Pimpinan Pusat Garnita Malahayati NasDem) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, keseimbangan antara upaya pengembangan lokasi wisata dan pelestarian warisan budaya yang menjadi objek wisata harus bisa dilakukan secara bersamaan.
Karena, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, warisan budaya merupakan representasi dinamika manusia yang diteruskan melalui nilai kehidupan, norma, sejarah, arsitektur, ritual dan pola hidup suatu kelompok masyarakat.
Menurut Rerie, diperlukan pelestarian budaya yang berkelanjutan agar selain menggali setiap nilai yang melekat dengan sejarah dan perkembangan bangsa, juga mampu menjadi akselerator sektor pariwisata.
Dalam upaya pelestarian itu, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengembangannya.
Edukasi yang berkelanjutan terhadap para pemangku kepentingan dan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan pariwisata dan cagar budaya, ujar Rerie, merupakan langkah penting dalam upaya menyeimbangkan antara upaya pelestarian cagar budaya dan akselerasi pertumbuhan sektor pariwisata nasional.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno mengungkapkan pihaknya saat ini sedang mengembangkan sejumlah inovasi, adaptasi dan kolaborasi dalam pengelolaan sektor pariwisata nasional.
Menurut Sandi, konsep konservasi harus diterapkan dalam pengembangan pariwisata pada kawasan cagar budaya, agar situs budaya yang ada bisa terus lestari hingga masa depan.
Staf ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dadang Rizky menambahkan dalam indeks World Economic Forum sektor cultural resources Indonesia mengalami perbaikan naik 12 peringkat ke posisi 32 dunia.
Diakui Dadang, pascapandemi di sektor pariwisata berkembang paradigma baru seperti jenis atraksi dan segmen wisata yang lebih mengarah ke individual traveler.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ujar Dadang, berupaya membuka peluang usaha dan lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia dengan mengedepankan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.
Pariwisata yang berkelanjutan ini, tegas Dadang, harus dipraktikkan, karena semakin dilestarikan semakin menyejahterakan.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hilmar Farid mengungkapkan terkait perlakuan terhadap warisan budaya sudah diatur pada Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Beleid itu, ujar Hilmar, secara umum mengamanatkan harus ada upaya melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan dalam pengelolaan cagar budaya.
Saat ini, tambahnya, di Indonesia terdapat 90 ribuan situs, bangunan cagar budaya. Namun baru sekitar 1.500 situs, bangunan dan cagar budaya yang dikelola pemerintah daerah.
Selain itu, jelas Hilmar, masih banyak kekurangan dalam tata kelola cagar budaya, karena belum semua pemda memiliki tenaga ahli dan dana yang memadai untuk mengelola kawasan cagar budaya.
Ketua Umum IAAI, Marsis Sutopo mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi dari warisan budaya yang luar biasa, baik dari warisan berupa benda mau pun warisan budaya tak benda.
Bahkan warisan budaya tersebut, jelas Marsis, diakui sebagai warisan budaya dunia seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Sangiran, dan Landscape Bali. Pencapaian itu, tegas Marsis, harus menjadi tanggung jawab bersama.
Akademisi Universitas Pelita Harapan, Diena Mutiara Lemy berpendapat sejumlah warisan budaya dunia yang ada di Indonesia harus mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan.
Diena prihatin melihat ada situs warisan budaya dunia di Indonesia yang rusak karena tidak cukup mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan.
Isu harga tiket yang tinggi untuk mengunjungi Candi Borobudur, ujar Diena, harus jadi momentum agar pelestarian warisan budaya di Indonesia mendapat perhatian serius semua pihak.
Agar tidak kehilangan momentum itu, Diena berharap, para pemangku kepentingan segera menindaklanjuti sejumlah kebijakan pelestarian warisan budaya dengan rencana aksi yang jelas.
Diena menyarankan, sebelum mengembangkan pariwisata di kawasan cagar budaya, pengelola dan masyarakat harus dibekali pengetahuan yang memadai terkait pentingnya cagar budaya sehingga terbangun sikap peduli terhadap warisan budaya yang kita miliki.
Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, Irwansyah berpendapat, kontroversi terkait pemberlakuan kenaikan harga tiket masuk ke Candi Borobudur sebagai instrumen untuk pelestarian warisan budaya, disebabkan masyarakat menerima informasi yang tidak utuh.
Seharusnya, ujar Irwansyah, sebelum menyebarluaskan informasi tersebut pemerintah membangun agenda agar terbentuk opini publik yang lebih baik dalam merespon informasi tersebut.
Irwansyah mengusulkan penggunaan teknologi digital dalam upaya konservasi kawasan warisan budaya dunia, seperti Candi Borobudur, lewat konten edukasi yang mampu disebarluaskan kepada masyarakat.
Kepala Desa Karanganyar, Borobudur, Magelang,
Suyanto berpendapat kebijakan yang diberlakukan dua kementerian terkait Candi Borobudur saling bertolak belakang.
Menurut Suyanto, Kemenparekraf gencar mendorong peningkatan kunjungan wisatawan. Sedangkan Kemendikbud dan Dikti mengedepankan upaya pelestarian terhadap warisan budaya dunia seperti Candi Borobudur.
Suyanto sangat berharap kondisi tersebut harus segera didiskusikan bersama dengan melibatkan masyarakat, agar segera ada solusi yang lebih baik bagi semua pihak terkait pariwisata di kawasan Candi Borobudur.
Dewan Pimpinan Pusat Garnita Malahayati NasDem, Virgie Baker menilai banyak destinasi wisata nasional masih terkendala akses yang belum memadai.
Kalau pun bisa sampai ke destinasi wisata yang dituju, ujar Virgie, situs-situs warisan budaya yang ada tidak terawat dengan baik.
Padahal, jelas Virgie, potensi lapangan kerja yang bisa diciptakan lewat pariwisata cukup besar. Namun, pemerintah daerah terkesan kurang peduli terhadap warisan budaya yang ada di wilayahnya.
Diakhir diskusi, jurnalis senior Saur Hutabarat mengungkapkan temuan Balai Konservasi Borobudur yang mencatat ada 3.000 noda bekas permen karet dan banyak sampah di Candi Budha itu.
Pengelolaan pengunjung dan pelestarian situs, tegas Saur, harus dilakukan secara bersamaan.
Saur mengusulkan agar kebijakan tarif sebagai bagian upaya konservasi tetap diberlakukan dengan pengaturan yang lebih baik. *